Yuni (2021) : Bakal Rabi oleh Nimas Safira Widhiasti Wibowo - Komunikasi UNAIR (Kritik Film Indonesia)

 Kritik Film Indonesia


Yuni (2021) : Bakal Rabi

Oleh : Nimas Safira Widhiasti Wibowo - Komunikasi UNAIR

—didedikasikan untuk seluruh perempuan Indonesia, seorang pejuang!


  1. Sekapur Sirih


“The female image—the female as image—has been a central feature of film and related visual media”


        Ungkapan White (1998) tersebut dengan lantang menyebut film dengan perempuan sebagai subjek yang dipanggungkan, diprediksi bakal memiliki masa depan baik dalam ranahnya dunia perfilman. Baginya, gelombang feminisme kedua memberikan ruang pada perempuan untuk bersuara dalam ranahnya di media massa. Semakin banyak masyarakat yang memaklumi, mewajarkan, serta mengagungkan kedigdayaan perempuan sebagai subjek yang berperan besar dalam narasi film. Memang terbuktilah prediksi tersebut, lihat saja film bergenre drama-feminist di Indonesia yang sedang naik daun beberapa dekade ini. Sebut saja film-film super-mega-hits Indonesia, Perempuan Berkalung Sorban (2009), Merry Riana (2014), Kartini (2017), Marlina Pembunuh dalam Empat Babak (2017), Susi Susanti : Love All (2019), Penyalin Cahaya (2021), hingga Yuni (2021). Penggambaran narasi film genre jenis ini, berusaha menjadikan perempuan sebagai tokoh yang mempunyai andil besar sepanjang film. 

Meskipun demikian, nyatanya tentu saja tidak asing jika kita masih sering melihat film yang menggambarkan perempuan dari kacamata objektifikasi visual. Terlebih sebagai ‘obat cuci mata seksualitas’ dalam sudut pandang male gaze —teori yang memandang perempuan dari sudut pandang laki-laki. Dalam pandangan ini, perempuan valid dilabeli sebagai objek pasif yang tidak memiliki kehendak bebas. Sungguh ironis, film-film seperti inilah yang faktanya justru booming di pasaran. Sebut saja di Indonesia masih banyak film bergenre horror, seperti Rintihan Kuntilanak Perawan (2010), Hantu Puncak Datang Bulan (2010), Sumpah Ini Pocong (2009), dan masih banyak lagi film yang secara ambisius menelanjangi tubuh perempuan sebagai pemuas hasrat penonton, terutama bagi kepuasan mata lelaki. Hal ini ditengarai sebagai akibat dari konstruksi realitas di masyarakat, dimana praktik-praktik ketidakberdayaan perempuan serta perempuan sebagai pemuas nafsu lelaki masih mengakar kuat dalam norma-norma pengikat kehidupan.

Fenomena ini sama wajarnya saat kita akan menemukan film-film yang eksis di balik nama feminism atau ‘film untuk perempuan!’ yang sebenarnya terkadang justru sedang mencoba mempertontonkan penggambaran ketidakberdayaan perempuan dalam kungkungan bias ketidakadilan sosial. Dalam panggungnya, secara sadar atau tidak, seringkali penulis film membangun narasi yang niatnya berpihak pada perempuan, namun justru melanggengkan bingkai ketragisan kisah hidup perempuan. Bahwa sekuat apapun mereka berusaha, Ia akan mutlak dikalahkan oleh keadaan maupun konflik batinnya sendiri. Keadaan ini bisa saja diterima salah kaprah oleh penonton, kemudian lambat laun memupuk ideologi dan stigma di masyarakat bahwa ‘perempuan itu lemah’, ‘perempuan tidak akan menang melawan tradisi’, ‘buat apa berusaha, jika toh hasilnya sia-sia?!’. 

Melihat fenomena ini, film berjudul Yuni (2021) rasa-rasanya hadir sebagai film yang membawa narasi perempuan marginal. Digadang-gadang mengusung genre drama-feminist yang mempertontonkan narasi dari sisi perempuan, Yuni secara intens membawa penonton berkenalan dengan isu perempuan-tidak-punya-suara, perempuan-menikah-saja, perempuan-tunduk-pada-omongan-tetangga, serta beragam kompleksitas tuntutan sosial lainnya. Namun, benarkah demikian? Benarkah film Yuni menjadi simbol perlawanan ketidakadilan pada perempuan? Bukankah film ini secara gencar menjejali kita tentang betapa tragisnya kehidupan remaja pinggiran kota yang berusaha memenuhi ekspektasi tradisi tetangganya? Nyatanya selama film berlangsung, penonton barang sedikitpun tidak boleh bernafas tenang. Ada jeritan hati seorang remaja-perempuan-normal-kebingungan yang seakan minta diselamatkan.

Pada dasarnya, hal ini berkaitan dengan film dalam ranah kajian budaya (cultural studies). Sebagai suatu kajian interdisipliner, kajian ini secara selektif dimaksimalkan dalam upaya pengujian hubungan antara kebudayaan dan kekuasaan, maupun hak untuk perubahan. Selain itu, kajian ini juga membahas representasi kelompok-kelompok inferior dan termajinalkan, terutama di bidang gender, ras, dan kelas sosial (Krismanto, 2009). Yuni merupakan salah satu film yang mengeksplorasi penggunaan film dalam kajian budaya (cultural studies), hal ini karena penggambarannya mengadopsi kultur yang kental di lingkungan tempat narasinya diceritakan.

    Kamila Andini, penulis sekaligus sutradara film Yuni dalam sebuah interview dengan Dantiani (2021) mengutarakan bahwa film Yuni terlahir karena Ia menemukan semacam ilham tentang posisi perempuan setelah bercakap dengan ART-nya yang izin pulang kampung untuk menemui Sang anak yang akan segera melahirkan di usia muda. Terlihat dari kutipan berikut :


“Sebenarnya ide awalnya datang dari sebuah percakapan sederhana dengan ibu asisten rumah tanggaku. Dia izin pamit mau pulang, anaknya waktu itu mau melahirkan di usia yang sangat muda. Dia cukup khawatir tentang kelahirannya karena masih muda banget, masih kecil, dan kehamilannya juga complicated, sehingga sebagai ibu, dia khawatir.” (Kamila Andini, Director & Penulis Film Yuni, 2021).


Ungkapan Kamila diatas mengisyaratkan bahwa pernikahan dini di berbagai pelosok Indonesia masih dianggap hal yang wajar. Rasa-rasanya di sudut-sudut pedesaan lebih aneh melihat perempuan cantik berbadan seksi yang memiliki jenjang karir bagus dan belum menikah di usia 30-an, ketimbang melihat anak SMP yang sudah menerima pinangan. Ada kalanya para orang tua menyebut bahwa pernikahan adalah kunci untuk hidup lebih baik, khususnya dalam urusan ekonomi. Namun, apakah pernikahan adalah obat dari segala permasalahan? Apakah benar banyak anak banyak rejeki? Apakah peran perempuan hanya sebatas memberikan pelayananan dapur-sumur-kasur-dapur-sumur-balik lagi kasur?

Stigma-stigma inilah yang membuat Kamila bersikeras menciptakan sosok remaja perempuan pemimpi dan berjiwa bebas yang harus berjuang melawan kungkungan tradisi lingkungannya, yakni pernikahan dini. Pantas saja jika film ini pada akhir tahun 2021 lalu mendapatkan berbagai macam penghargaan nasional maupun internasional. Interaksi akting para pemain bak membentuk harmonisasi, murni menciptakan gambaran realitas kefrustasian remaja yang terbungkam oleh tradisi. Sebut saja sebelum resmi tayang di bioskop, Yuni menjadi perwakilan Indonesia untuk kategori Best International Feature Film dalam ajang penghargaan Academy Awards ke-94 (Piala Oscar 2022). Film ini masuk dalam 14 nominasi Piala Citra di Festival Film Indonesia 2021 dan nominasi Achievement in Directing di Asia Pacific Screen Awards. Disamping itu, yang tidak kalah membanggakan Yuni sukses memenangkan Platform Prize di Toronto International Film Festival 2021, Snow Leopard untuk Aktris Terbaik di Asian World Film Festival 2021, atau Silver Hanoman di Jogja-NETPAC Asian Film Festival 2021. Tidak berhenti disitu saja, pembawaan totalitas nan apik oleh Arawinda Kirana pemeran Yuni membawanya merebut Piala Citra untuk kategori Pemeran Utama Perempuan Terbaik di Indonesia 2021 (Nainggolan, 2021).

Nampaknya, genre seperti Yuni ini telah mendapat tempat tersendiri di hati penonton, khususnya kaum feminist—pemerhati perempuan. Sejak dirilis pada 12 September 2021 lalu melalui Toronto International Film Festival (TIFF), film berdurasi 95 menit ini menerima berbagai respon baik dari khalayak. Hal ini bisa kita lihat dari banyaknya kajian forum perempuan dan pemberitaan bernada positif di internet terkait film Yuni, bahkan tidak jarang dengan segala keberpihakannya pengguna media sosial menuliskan : 


Yuni sebagai salah satu film recommended yang harus dilihat setidaknya sekali seumur hidup!!!”. 


Melalui film ini, kiranya Kamila ingin mengisahkan perempuan dari sudut pandang perempuan di pinggiran kota Serang yang berjuang melawan tradisi patriarki. Pengisahan tokoh Yuni yang sedang dalam masa transisinya : muda, bebas, serba ingin tahu, benci dikekang, memberi kita penggambaran bahwa remaja-perempuan di masa paling emosional bisa mengorbankan apa saja untuk mencapai hasrat terliarnya. Dalam film ini, penonton akan dibawa mengikuti emosi, kemarahan, dan keputusan mungkin sedikit bodoh dari remaja frustasi yang ingin terbebas dari omongan tetangga dan bungkaman tradisi. Tidak hanya itu, problematika-problematika tokoh pendukung juga bagaikan isyarat betapa kejamnya budaya peninggalan nenek moyang kita ini. Alih-alih menggunakan bahasa Indonesia, Kamila bersungguh-sungguh membuat narasi cerita berbahasa Jawa-Serang sepanjang film untuk membuatnya semakin realistis, ciri khas masyarakat daerah. Medok. Konvensional. Tradisi kental. 

Narasi cemerlang ini dituangkan ke dalam dua versi yang hampir saja berbeda. Yuni versi original film festival dihadirkan dalam durasi sepanjang 95 menit. Sedangkan versi bioskop disuguhkan lebih lama, yakni berdurasi 122 menit. Tidak hanya durasinya saja yang paling kentara berbeda, namun hal tersebut menciptakan mood film yang sangat jauh berbeda. Dalam versi festival, kita akan disuguhi banyak sekali jump cut, tipikal selera luar untuk menciptakan kesan yang lebih ‘dark’, ‘memburu’, dan ‘intens’. Ada pula tambahan adegan yang sekali lagi tujuannya untuk memburu penonton. Sehingga bisa kita lihat, fokus utama adalah Yuni dan segala kesedihannya, Yuni-Yuni-Oh! Yuni yang malang. 

Sementara, versi bioskop memuat klip-klip remeh yang tidak ditampilkan dalam versi festival, membuat beberapa adegan tampak jauh lebih masuk akal dan manusiawi, seperti penjelasan pertemuan Yuni dengan Teh Suci yang menuntun Yuni memandang dunia luar atau adegan menyentuh antara bapak dan anak. Selain itu, konflik-konflik perempuan di sekitar Yuni juga disuguhkan secara dramatis. Meskipun demikian, kedua versi tersebut sebenarnya memiliki poin pembabakan yang sama persis. 

Mungkin saja setelah menonton film tersebut, penonton akan diarahkan kepada satu titik pemikiran : perempuan di pinggiran kota masih terbungkam, konvensional. Namun, betulkah adanya? Apakah pembingkaian Kamila tentang tradisi patriarki di pinggiran kota Serang ini sudah tepat? Apakah penggambaran perjodohan dini semenyedihkan itu?

Melalui pembahasan ini, saya bermaksud membedah seluruh tudingan yang diarahkan kepada film Yuni melalui sudut pandang budaya di Indonesia yang terbagi ke dalam tiga babak utama : (1) Melepuh, yang menguraikan bagaimana ketidakberdayaan perempuan dalam bersuara, seakan tubuh perempuan hanya untuk mengasuh hasrat pria; (2) Setubuh, yang menguraikan bagaimana sosok Yuni sebagai representasi remaja dengan banyak tuntutannya. Remaja dengan kondisi yang masih ingin hidup bebas, naif, dan melakukan segala cara untuk keluar dari lingkaran setan yang membelenggunya; (3) Bertumbuh, yang menguraikan referensi Kamila dalam membingkai Yuni jika disandingkan kondisi patriarki di Indonesia. 

Perlu diperhatikan, referensi yang diacu berdasarkan pencampuran versi bioskop dan versi festival, diharapkan uraian tersebut dapat menguraikan seluruh elemen yang coba dinarasikan penulis kepada penonton, khususnya dalam ruang lingkup masyarakat sosial-budaya Indonesia secara utuh. Perlu diingat, bahwa teks diskursif ini merupakan pemahaman subjektif. 


  1. Yuni : Melepuh


“Aku pengen berpihak (kepada remaja ; perempuan) pada fase ini. Aku pengen melihat fase ini seterbuka mungkin, sejujur mungkin.” (Kamila Andini, Director & Penulis Film Yuni, 2021).


    Sejujurnya, ujaran Kamila tersebut sedikit menambah kebimbangan hati saya. Film ini tidak begitu menunjukkan dukungannya pada perempuan, seperti klaimnya. Nyatanya selama menonton film tersebut, saya tidak bisa berhenti berdecak marah setiap kali Yuni dihadapkan pada situasi timpang. Berkali-kali. Saat lelaki digambarkan sebagai penguasa tunggal keputusan, saat Yuni sudah berusaha namun nyatanya tidak cukup kuat melawannya, atau saat celetukan ibu-ibu tetangga yang melanggengkan tradisi turun-temurun itu dan menaruh Yuni pada keadaan mental yang sulit. Bagi saya, Yuni secara intens terus memberikan kita peringatan : Perempuan akan tetap memiliki posisi yang sulit diantara kungkungan budaya patriarki! Ia tidak punya kesempatan untuk mengejar keinginannya sendiri, semua harus sesuai dengan petuah tetua. Jangan melawan! Bisa kita lihat dari awal hingga narasi akhir film, Kamila secara tegas mengukuhkan Yuni sebagai perempuan kecil nan malang yang sedang berusaha menahan beban mental yang dilimpahkan tradisi kepada dirinya.

Pertanyaan ini terus berputar-putar di benak saya : Benarkah narasi Yuni merupakan bentuk deklarasi keberpihakan atas isu marginalisasi remaja perempuan, seperti klaimnya? Dan bukan sebaliknya? Ataukah keberpihakan tersebut memang sebenarnya sengaja disiratkan melalui adegan-adegan tentang ketidakberdayaan seorang remaja perempuan menolak kungkungan tradisi, sehingga pada akhirnya akan memunculkan rasa iba dalam pikiran audiens?

    Meskipun pertanyaan saya belum sepenuhnya terjawab, sebenarnya Kamila telah menjelaskan tudingan tersebut dalam pernyataannya mengenai keraguan dalam proses produksi Yuni serta bagaimana Ia bercita-cita membangun karakter yang terlihat natural, apa adanya. Seakan Ia ingin mengajak penonton berkenalan dengan kompleksitas permasalahan remaja perempuan yang tidak boleh berkehendak bebas.


“Jadi memang dari awal, aku sudah tahu akan berpihak pada hal ini, dan aku enggak mau ada yang ditutupi. Makanya kalau ngelihat filmnya, bahkan dari opening, aku udah bilang ke penonton bahwa kamu bukan orang lain, kamu orang yang bisa melihat Yuni ganti baju, dan di titik itu kamu orang yang dia percaya. Makanya di film itu enggak ada yang aku tutup-tutupin sama sekali. Kamu bisa lihat apa yang dia tulis di handphone-nya, di Google search-nya dia, apa yang dia omongin sama teman-temannya.


Kita bisa dengan terbuka melihat semuanya. Kita bisa lihat bagaimana kompleksnya kebutuhan fase itu, bagaimana remaja mengeksplorasi dirinya. Yes, we make mistakes, semua dari kita di fase itu membuat kesalahan tapi bukan berarti hidup kita juga berakhir di situ juga kan. Hidup kita masih panjang kita punya waktu untuk membetulkan, cari lagi, berproses lagi gitu.” (Kamila Andini, Director & Penulis Film Yuni, 2021).


    Kalimat tersebut menjadi titik kunci pembelaan Kamila, bahwa niatnya ingin menggarap Yuni dengan sejujur-jujurnya. Bahkan saat adegan opening dan closing yang mendapat perdebatan, termasuk celetukan teman saya yang masih awam dengan isu keperempuanan : Mengapa film yang membela perempuan harus menampilkan lekukan tubuh pemerannya di awal film? Untuk menarik atensi? Lalu, mengapa pula harus diakhiri juga dengan kekalahan telak Sang tokoh utama, kenapa harus mati? Dimana letak pembelaannya? Yuni jelas-jelas tidak begitu berpihak pada perempuan.

    Dari babak awal, Yuni memang menyuguhkan penggambaran kaum marginal, perkampungan dekat pabrik, motor butut, hingga penyakit maniak ungunya. Narasi berkembang secara intens menyuguhkan daily life remaja perempuan daerah dengan segala tetek bengek aturan-tradisi-mitos-norma-blablabla yang mengikatnya. Jika ditilik lebih dalam, sebenarnya permasalahan ini begitu kompleks. Dari menit pertama penonton diajak berkenalan dengan isu kepentingan politik dalam adegan sosialisasi pemberlakukan tes keperawanan bagi siswi di SMA Yuni. Hingga kemudian secara getol Kamila membangun rentetan permasalahan yang dialami Yuni dan lingkungan sekitarnya, termasuk isu pernikahan dini, hingga kekerasan dalam rumah tangga.

    Berbeda dengan versi festivalnya, versi bioskop terkesan lebih humanis. 30 menit pertama, penonton akan dihadapkan pada penggambaran kehidupan normal Yuni, sekolah, percakapan remeh dengan temannya, hubungan dengan ibu-bapaknya di perantauan, hobi menyanyi, kemampuan pencak silat, pertemuan dengan Teh Suci, wejangan gurunya. Tidak ketinggalan cerita Tika tentang dilema menjadi ibu di usia muda, sedangkan dengan enteng hati suaminya kabur dari tanggung jawab itu. Belum siap, belanya. 

Bermula dari sini Kamila terus membombardir kisah tragis perempuan yang berjuang melawan tradisi dan menuntut kehendak bebas, namun tetap saja dikalahkan kuasa. Bagi Yuni, masalah berawal saat Imam keponakan tetangga seberang yang tidak tahu dari mana asalnya tiba-tiba saja melamar Yuni hanya dengan berbekal nafsu sekali pandang. Masalah besar bagi Si pemimpi berjiwa bebas seperti Yuni yang masih bercita-cita melanjutkan pendidikan ke jenjang perkuliahan. Belum lagi gempuran tetangga dan temannya yang mengelukan begitu beruntungnya Yuni yang ‘enteng jodoh’ —tindakan bodoh jika Ia menolak lamaran laki-laki mapan itu. 

Nampaknya dari penggambaran tersebut, dengan mudah dapat kita simpulkan bahwa bentuk mitos masyarakat pinggiran yang mereken isu pendidikan tinggi bagi perempuan bukanlah hal yang terpenting, melainkan urusan 'dapur, sumur, kasur' — bentuk bakti kepada suami. Filosofi ini berulang kali ditegaskan dalam dialog ibu-ibu paruh baya, korban rezim budaya lama.


Ibu-Ibu Tetangga

Naon teh sekolah luhur-luhur? Ewean yang penting dapur, sumur, kasur. (Buat apa sekolah tinggi-tinggi? Perempuan kan yang penting dapur, sumur, kasur).


Lebih lanjut, para Ibu juga menghakimi perempuan zaman sekarang yang dinilai jauh dari tradisi yang dianut pada zaman dulu. Bagi mereka, perjodohan dan pernikahan adalah suatu upaya untuk menunjukkan bakti kepada orang tua. Meskipun dalam perjalanan, jika mereka tidak cocok dengan pasangan pilihan orang tuanya, mereka tetap akan menerima tanpa membantah. Tubuh dan jiwa perempuan bukanlah milik mereka sepenuhnya. Tubuh itu dilambangkan hanya sebagai kedigdayaan perempuan dalam mengontrol kepuasan suami di ranjang. Sedangkan, jiwanya merupakan hak milik penuh tradisi sosial yang berlaku. Sehingga, slogan-slogan “Pendidikan untuk semua” atau “Kejarlah ilmu sampai ke negeri Cina” dalam film ini dikisahkan hanya legenda isapan jempol belaka.

    Sejatinya, penggambaran ini diadopsi dari realitas sosial yang masih kita alami dewasa ini. Seperti yang diungkapkan Fajriyah, Mahdiah, Fahmadia, & Lukitasari (2020) dalam buku Profil Perempuan Indonesia 2020 Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia yang menyatakan bahwa tingkat pendidikan di perguruan tinggi bagi perempuan di pedesaan dihadapkan pada permasalahan yang pelik, termasuk kendala akses budaya, stigma, dan pelabelan. Selain itu, faktor ekonomi menjadi dilema utama bagi perempuan pedesaan, apakah ia memilih untuk menikah, bekerja, atau melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi di kota. Kondisi inilah yang oleh Kusumaningrum (2016) dalam Fajriyah, Mahdiah, Fahmadia, & Lukitasari (2020) disebut-sebut dapat berakibat pada kualitas perempuan pedesaan umumnya jauh lebih tertinggal serta kurang berdaya saing dalam sektor publik dan ekonomi jika dibandingkan perempuan yang tinggal di kota (Kusumaningrum, 2016).

    Tidak berhenti disitu, alur yang semakin intens menghadapkan Yuni pada permasalahan selanjutnya. Seakan niat hati menyenangkan diri, namun malah berubah menjadi tragedi. Pinangan kedua segera hadir dari orang yang tidak terduga-duga sebelumnya. Mang Dodi, aki-aki pemilik kolam renang sekaligus paman Sarah segera saja terpukau pada kemolekan gadis itu. Berbekal duit 25 juta dan restu istri pertama, Ia begitu percaya diri melamar Yuni.


    Mang Dodi        

Insya Allah rayat kulo nggih sampun setuju (Insya Allah istri saya juga sudah setuju).

Istri Mang Dodi 

Insya Allah..

Nenek Yuni

Niki maksude nape ya? (Ini maksudnya apa ya?)

Mang Dodi

[Mengeluarkan amplop coklat] Mekaten nggih teh, seniki mahare panjer kerihin, 25 juta. Selerese mah kula mboten enak, tapi motor Yuni sampun kedah digentos. Teteh tumbas maling sing model terbaru. Sisane teteh tumbasaken kalung kangge Yuni. Niki nembe awalan. Insya Allah, mengke umpami Yuni sampun sah sareng kula lan ning malam pertama Yuni isih perawan, kontan kula tambah malih, 25 juta. (Ini teh, ini mahar awalnya, 25 juta. Sebenarnya saya nggak enak, tapi motor Yuni saya lihat harus sudah diganti. Sisanya teteh belikan kalung untuk Yuni. Ini baru awalan. Insya Allah, nanti jika Yuni sudah sah menikah dengan saya dan malam pertama Yuni masih perawan. Kontan saya tambah lagi 25 juta.).


    Kamera medium close up menyorot ekspresi gundah Yuni yang curi-curi dengar dari balik pintu dengan latar belakang Mang Dodi. Kemudian camera focus secara smooth berpindah, fokus pada kegembiraan aki-aki tua itu menceritakan maksud kedatangannya. Penggambaran itu nampaknya sekali lagi ingin menegaskan kedudukan uang bagi masyarakat pinggiran yang dikira bisa membeli segalanya, termasuk lamaran, kebahagiaan, keikhlasan istri pertama, hingga masa depan seorang gadis baru lahir. Permasalahan ini menjadi semakin pelik bagi Yuni saat kungkungan tradisi lingkungan tempat tinggalnya yang menyerukan bahwa perempuan tidak boleh menolak lamaran seseorang lebih dari dua kali, pamali. Jodohnya akan sulit datang. Hingga pada akhirnya, Yuni seorang diri harus menghadapi pilihan nekat dalam hidupnya : mencari alasan agar batal dinikahi aki-aki tua. Bagaikan pertempuran di medan perang, gadis itu berhasil menang kali ini, Ia berhasil menolak lamaran yang menggiurkan itu. Namun, seperti teori aksi-reaksi yang dipopulerkan Newton, tentu saja ada harga yang harus dibayar mahal bagi seorang perempuan untuk mencapai keinginannya. Yuni harus menelan kehilangan, mengorbankan kesuciannya.

 Bak keluar mulut harimau masuk mulut buaya, lagi-lagi Yuni dikhianati. Kali ini oleh cinta pertamanya, Pak Damar. Penggambaran Pak Damar, lajang, guru sempurna, berbokong seksi kata Yuni, mengayomi, maskulin tiba-tiba saja dibalikkan seratus delapan puluh derajat pada adegan di kamar pas pasar. Pak Damar digambarkan sebagai seorang crosshijabers, yakni laki-laki yang gembira berpenampilan memakai jilbab, gamis, cadar, dan pakaian feminim lainnya (Nurcahyani, 2019). Hobinya itu kecolongan oleh Yuni, Ia gagal menyembunyikan identitasnya. Bagi saya, Kamila secara diam-diam berniat menggiring penonton untuk berasumsi pada topik queer. Kamila sebagai seorang pemberontak berhasil menarasikan  topik yang masih tabu dibicarakan di Indonesia, apalagi kalau bukan menilik Pak Damar memiliki orientasi seksual sesama jenis melalui kesenangannya pada hijab. 

Tidak perlu ditebak lama bagi laki-laki keras kepala dan egois, solusi untuk menanggung rasa malu itu adalah dengan melamar siswanya sendiri. Menutupi rasa kikuknya, berkedok ingin berbakti pada orang tua. Sebuah kisah tragis bagi remaja perempuan yang harus menanggung pilihan masa depannya : antara kuliah atau menikah, antara bebas atau berbakti, antara cita-cita atau ekonomi. Dan ya, gadis itu menyerah kali ini.

Kamila tidak saja berambisi memfokuskan narasi hanya pada Yuni sebagai pemeran utama, tetapi juga memberikan sedikit refreshing —atau malah memberi beban moral bagi kita sebagai penonton. Seakan Ia hendak memperkuat deklarasi kungkungan tradisi dan ketidakberdayaan perempuan bertindak bebas melalui kisah dari sudut pandang lingkungan di sekitar Yuni. Mulai dari prahara Tika yang baru saja melahirkan dan sudah ditinggal oleh suaminya, pernikahan paksa Sarah hanya karena disangka berbuat mesum dengan pacarnya, cerita Teh Suci tentang KDRT dalam pernikahannya akibat tidak bisa memberikan keturunan, atau dilema Teh Asih yang terpaksa hidup dalam kebohongan. Apakah perempuan-perempuan ini hanya diam saja menerima ketidakadilan ini? Jawabannya ya dan tidak. 


  1. Yuni : Setubuh

Perlahan-lahan Yuni membuka kaca aula tua di ujung kebon. Ia menoleh ke belakang beberapa kali, memastikan Yoga dalam sudut pandangnya. Kemudian, dengan anggun Ia memasuki gedung itu. Ada perasaan aneh dalam dirinya, Ia tidak tahu apa, tetapi yang Ia tahu Ia penasaran dengan rasanya. Dengan segera gadis itu pergi ke sudut ruangan, menyandarkan tubuhnya sambil memainkan tangannya, berdebar, menunggu si target datang. Ia menimbang, apakah keputusannya tepat?


Tak lama Yoga datang, curi-curi pandang malu, seperti biasa. Berdiri di sisi ujung tiang, Yuni memantapkan hati menghampiri laki-laki itu, ditatapnya lekat. Setelah jarak mereka hanya sejengkal, Yuni memegang tangan Yoga dan mengarahkan tangan besar itu ke payudaranya. Surprise, ini terasa benar! Sementara lawan mainnya kaget bukan kepalang, namun Ia tidak menghindar, karena Ia sudah cinta mati pada Yuni. Mengetahui posisinya diterima, Yuni segera mencium bibir laki-laki itu. Tidak lama, membuka celana Sang laki-laki, kemudian membuka roknya sendiri. Bagaikan dua insan yang bersatu, mereka tenggelam dalam perasaan buncah nan asing, penetrasi itu merobek kesuciannya. Hari itu juga hari kebebasan bagi Yuni. (Penggambaran saya dalam adegan 1:14:00 - 1:16:00).


        Adegan tanpa percakapan, musik mengalun tenang dengan sesekali riuh latar deburan ombak pasang. Namun, justru cukup membuat saya terngiang-ngiang sekaligus tercengang. Jujur saja, saya bisa merasakan kepedihan yang coba dinarasikan dalam adegan ini. Bukan adegan porno untuk memanjakan birahi Si hidung belang, tetapi ada lolongan kemarahan dan kefrustasian disini. Pelarian diri sekaligus solusi pembebasan Yuni atas lamaran kedua. Tindakan paling berani yang pernah Ia lakukan, murni karena keingintahuan gadis polos yang begitu mendalam. Pemikiran ini juga dikonfirmasi oleh Arawinda Kirana (pemeran Yuni) dalam sebuah interview dengan CNN Indonesia.


    "Karena itu bukan adegan asal-asalan mesum, enggak, itu adegan yang sangat penting yang merupakan simbol kebebasan Yuni, yang dia ingin membebaskan dirinya dari perjodohan," kata Arawinda Kirana kepada CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu. (CNN Indonesia, 2021).


Saya bisa memahami, mungkin saja bagi seorang gadis yang hampir gila, satu-satunya solusi untuk menolak lamaran itu adalah dengan menentang tuntutan pelamar, genderang perangnya. Namun kemudian penggambaran ini membuat saya termenung, cukup lama. Ah.. lagi-lagi laki-laki tampil sebagai pahlawan seluruh permasalahan perempuan, bukan? 

Dari awal film, memang kita digempur dengan penggambaran ketimpangan peran gender, antara laki-laki dan perempuan atau antara hak dan tradisi. Diantara narasi itu, kemudian Kamila memilih berfokus pada kisah remaja perempuan yang serba ingin tahu, berjiwa bebas, dan memiliki mimpi untuk melanjutkan pendidikan lebih tinggi, meninggalkan segala tradisi yang mengikat ruang bebasnya. Yuni, sosok perempuan yang telah didewasakan oleh lingkungan tempat tinggalnya, telah melihat betapa tidak berdayanya perempuan dari cerita-cerita temannya, sahabatnya, dan tetangganya. Misalnya, pada percakapan polos lima sekawan tentang seks, orgasme, dan peran perempuan di ranjang. Cerita Tika seakan memberikan peringatan 'seks sebagai lambang abdi istri pada suami' dan bukannya untuk dinikmati bersama. Keterbukaan percakapan inilah yang perlu digaris bawahi, girls support girls.

Hal ini juga tampak pada adegan Sarah menceritakan tragedi pernikahan paksa yang harus dijalaninya, sahabat-sahabatnya berusaha menenangkan gadis itu. Polos, camera movement close-up menyoroti penggambaran lima sekawan yang saling bersentuhan satu sama lain. Seakan menyalurkan semangat dan kepedulian pada Sarah.


Yuni 

Masih, Sar. Sire cuman kudu wani ngambil keputusan sire dewe (untuk menolak) (Masih Sar. Kamu cuman perlu berani untuk ngambil keputusan sendiri) 

Sarah 

Yun, die kan eruh. Aing ga bisa seberani die  (Yun, kamu kan tahu. Aku nggak bisa seberani kamu).


Dari percakapan ini, bisa kita pahami bahwa masih banyak perempuan yang bungkam atas ketidakadilan yang menimpanya. Bukan karena tidak ingin, tetapi karena Ia takut. Ia ciut akan perlakuan yang mungkin akan diterimanya kemudian. Karena pada dasarnya di Indonesia perempuan dituntut menjadi cantik. Sementara, menurut Wibawa (2012) sebagai contoh kecantikan seringkali disandingkan dengan penggambaran perempuan yang bersifat keibuan dan feminitas. Dalam artian, perempuan diharuskan memenuhi standar keanggunan, kelembutan, dan kehalusan yang berlaku. Sekali perempuan menolak, maka Ia akan terus mendapat label buruk dari lingkungannya.

Yuni sebagai sosok perempuan tangguh, Ia ingin berbeda, Ia memperjuangkan haknya sebagai manusia. Kamila memberikan harapan itu dalam penggambaran keseharian Yuni. Termasuk dalam adegan hobi menyanyinya, cita-cita melanjutkan kuliah, bela diri silat yang ditekuninya, hingga penyakit gila ungunya. Yuni adalah lambang pemberontakan perempuan terhadap cengkeraman patriarki.

Lalu pertanyaannya, mengapa Kamila memilih untuk menonjolkan warna ungu? Saya yakin hal tersebut bukan suatu ketidaksengajaan. Menurut Trifiana (2021), Warna ungu sering dipakai untuk memberikan kesan spiritual, misterius, serta imajinatif. Selain itu, warna ini juga melambangkan keberanian, kesetiaan, unik, langka, eksotis, hingga duka. Di Indonesia sendiri ungu di miskonsepsi dengan ‘janda’, warna yang melambangkan kehilangan separuh gairah hidupnya. Kamila nampaknya ingin menggabungkan kompleksitas tersebut menjadi utuh. Disatu sisi, ungu diibaratkan sebagai simbol gerakan keberanian perempuan untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. Namun, disatu sisi ungu juga dikaitkan dengan warna kehilangan. Yuni kehilangan suaranya. Warna ungu ini terus dimunculkan, mulai dari opening —seluruh barang Yuni berwarna ungu, cat rambut yang dipilihnya, hingga gaun pernikahan. Dalam frame, warna ungu terlihat sangat kontras dengan warna disekitarnya, seakan memiliki kekuatan magis untuk menuntut penonton terus mengawasinya. Penggambaran ini semakin kentara, tatkala fokus penggambaran penyakit ungu Yuni yang mengisyaratkan pemberontakan dan jiwa kebebasan.

Jujur saja, ketika menonton film ini saya tidak bisa tidak teringat pada penggambaran Teh Suci, janda, pemilik salon, perempuan mandiri, bebas. Meski screen timenya tidak banyak, bagi saya Teh Suci memberikan warna hidup dalam film ini. Mentor Yuni yang memberikan sudut pandang baru, dunia tidak sesempit kampungnya. Cerita Teh Suci tentang perceraiannya sedikit banyak telah memberikan Yuni makna besar dalam hidupnya, Ia tidak ingin bernasib sama, Ia perempuan bebas. Teh Suci juga memberikan surga baru di tengah kegetiran hidup Yuni soal lamaran, memberinya ruang bernapas. 

Kemudian, peran Bu Lies, guru Yuni juga menjadi poin penting dalam narasi film ini. Guru, "digugu lan ditiru" artinya dipercaya dan ditiru. Ungkapan Jawa itu nampaknya pantas disematkan kepada Bu Lies yang terus memberikan motivasi kepada siswanya, nuturi, nuturi, nuturi. Ialah sosok dibalik cita-cita ‘tidak realistis’ Yuni, menuntut ilmu setinggi-tingginya. Ialah Sang pemberani yang berhasil mendobrak tradisi kesederhanaan masyarakat. Hendaknya, Kamila tetap memberikan harapan tentang perjuangan perempuan di tengah gempuran penggambaran kungkungan patriarki.

Sebelum pendeliveran babak terakhir, adegan ‘potong kuku Yuni-bapaknya’ menjadi momen terhangat untuk menutup seluruh rangkaian permasalahan. Meskipun demikian, adegan ini hanya bisa dilihat dalam versi bioskop entah karena mengejar screen time atau kebingungan Kamila memetakan adegan sehingga tidak ditampilkan dalam versi festivalnya. Tetapi, bagi saya momen ini sebenarnya memiliki kunci paling penting dalam keputusan Yuni memecahkan masalahnya.


Bapak Yuni

Yun, Bapak ini diwenehi kesempatan karo Allah dadi wong tuwo sire cuman sepisan. Bapak ngusahakeun ngentengaken beban urip sire, duduk sebalike. Mun umur bapak pendek, sisa umur bapak guna ngebaturi sire ya. (Yun, Bapak ini beri kesempatan oleh Tuhan untuk menjadi orang tua hanya sekali. Bapak akan berusaha mengentengkan beban hidupmu, bukan sebaliknya. Kalau umur bapak pendek sisa umur bapak untuk menemani kamu).


Kamera secara perlahan zoom in untuk menunjukkan close-up ekspresi kasih sayang hubungan bapak-anak. Bapak, sebagai cinta pertama anak perempuannya berhasil meyakinkan Yuni bahwa Ia dicintai, tanpa syarat. Jika dunia tidak lagi memandangnya, Yuni percaya ada laki-laki yang akan menerima dirinya secara penuh, tanpa tuntutan. Ia bisa melakukan apapun yang Ia mau sekarang. Termasuk keputusannya kabur dari pernikahan. Ia mati, namun asanya akan tetap abadi. Yuni, perempuan yang kalah dan menang secara bersamaan dalam pertempuran.


  1. Yuni : Bertumbuh

Puisi ‘Hujan Bulan Juni’ karya Sapardi Djoko Damono dan lagu ‘Mimpi’ milik Anggun C. Sasmi menutup babak akhir dengan lantang pada versi bioskop. Melalui babak ini, Kamila secara gamblang ingin menuntut hak-hak perempuan kepada siapapun yang melihat. Sebut saja pada adegan api unggun, diiringi alunan ‘Mimpi’ secara tegas menggambarkan kebebasan perempuan, penuh suka cita. Kamera secara bergantian bergerak menyoroti ekspresi bahagia tokoh-tokoh perempuan hebat dalam film ini, seakan mereka telah terlepas dari belenggu yang menjerat mereka. Polos.

Meskipun demikian, nampak perbedaan signifikan yang kita lihat dari film yang ditayangkan untuk festival dan bioskop. Pada pemutaran untuk festival, Yuni diselesaikan dengan penggambaran tokoh utama yang terapung dalam air, tidak bernyawa. Gambar diambil dari atas, dengan tegas menunjukkan kekerdilan  kuasa Yuni yang kalah dalam pertempuran. Kesan dark dan muram jelas ingin ditonjolkan mengiringi kekalahan telak dalam pemberontakan, musnah. Sementara, bagi saya penggambaran ending versi bioskop lebih mengarah pada open ending, cerita yang rumpang silakan saja penonton menebak apa yang terjadi.

Rasa-rasanya wajar saja film ini menjadi booming dan memperoleh beragam tanggapan pro-kontra dari publik. Kamila menggarap film dengan sepenuh jiwa, memasukkan apa yang Ia ketahui dan apa yang Ia resahkan. Sebagai seorang aktivis perempuan dan film-maker, Kamila memiliki kuasa penuh dalam memasukkan ideologinya ke dalam film yang Ia buat. Sudah banyak film tentang perempuan yang ditulis Kamila, seperti Laut Bercermin (2011), Sendiri Diana Sendiri (2015), dan Memoria (2016) (Badriya, 2022)

Dalam setiap filmnya, Ia menggambarkan bahwa isu keperempuanan adalah hal yang hendaknya wajib mendapat perhatian. Ada hak perempuan yang harus dipenuhi. Dalam film Yuni misalnya, Kamila merasa bahwa fenomena ‘perjodohan paksa’, ‘pernikahan dini’, ‘hingga tradisi patriarki’ masih menjadi permasalahan yang serius di Indonesia, terutama di pelosok pedesaan. Hal ini sejalan dengan ungkapan Foucault dalam Ida (2014) yang menyatakan bahwa kekuasaan (power) yang dimiliki kelompok dominan secara tidak langsung berperan dalam pembuatan ideologi dan subjektivitas masing-masing individu yang terpapar. Artinya, pembuat film sebagai kelompok dominan memiliki kuasa dalam menyebarkan subjektivitasnya melalui narasi dalam media film, kemudian penggambaran tersebut akan diterima oleh penontonnya sebagai sebuah kebenaran. Disinilah diskursus sosial bekerja, tak lain untuk membedah penggambaran pembuat film dalam menyebarkan ideologinya dalam media massa.

Kamila tumbuh dan besar diantara industri perfilman. Ayahnya, Garin Nugroho merupakan seorang sutradara kenamaan yang telah menyutradarai puluhan film legendaris di Indonesia, mulai dari film bertema ketimpangan sosial, budaya, hingga pendidikan. Bagaikan tongkat estafet, Kamila melanjutkan perjuangan Sang Ayah untuk menyebarkan pesan-pesan kemanusiaan dalam sebuah maha karya. Konstruksi dari nilai-nilai yang dianut dan dipercayai Kamila inilah yang kemudian Ia tuangkan ke dalam narasi film. Maka tidak heran ada satu kesamaan dalam tiap filmnya, yakni penggambaran perempuan yang berusaha mencari kebebasan dari kungkungan kelompok dominan. Hal inilah yang membuat Yuni ditengarai sebagai film dari perempuan, oleh perempuan, dan untuk perempuan.


"Jadi saya berharap banget orang yang menonton film ini juga jadi punya sedikit keberanian dan insight untuk membebaskan dirinya, dengan cara apapun. In the end, ini film tentang liberation, jadi aku berharap ini juga bisa memicu liberation dari banyak perempuan yang nonton gitu. Mereka bisa accept, menceritakan cerita mereka, suara mereka pemikiran mereka, apapun itu. Ini saatnya memang dibebaskan semua itu." (Kamila Andini, Director & Penulis Film Yuni, 2021)


Lalu apakah penggambaran Kamila tentang budaya patriarki di wilayah pelosok Indonesia sudah tepat? 

Berdasarkan penelitian yang telah saya lakukan, sampai detik ini Indonesia menduduki peringkat ke-2 di ASEAN serta peringkat ke-8 di dunia dalam hal perkawinan pada anak. Prestasi yang luar biasa mengetahui bahwa sekitar 22 dari 34 provinsi di Indonesia memiliki angka perkawinan anak yang jauh lebih tinggi dari rata-rata nasional (Kompas.com, 2021). Hal ini diperparah dengan kondisi pandemi COVID-19 yang kita hadapi sekarang, kenaikannya mencapai 300 persen. Kondisi ini juga dibarengi dengan angka putus sekolah yang terus meningkat bagi anak perempuan (Rosanti, 2021). Penyebabnya, tidak lain adalah masalah ekonomi dan ketimpangan budaya, termasuk patriarki.

Anggapan ‘menikah saja, dengan begitu bisa meringankan beban orang tua' nampaknya masih menjadi permasalahan yang serius, terutama di wilayah pedesaan yang masih memegang tradisi budaya kental. Maka dari itu, bagi saya perlu adanya sosok ‘berani’ yang membuka tabir kebobrokan tradisi lama yang telah merenggut hak pendidikan anak dan kehendak bebasnya. Salah satunya melalui film.


  1. Penyudah

    Yuni secara gamblang telah menyuguhkan kita visualisasi minoritas perempuan di Indonesia. Bahwa sekuat apapun perempuan melawan, Ia tidak akan berhak memilih jalan hidupnya sendiri. Perempuan itu urusannya hanya melulu sumur-dapur-kasur. Sejatinya, tubuh dan jiwa perempuan bukanlah milik mereka sepenuhnya. Tubuh itu hanya lambang kekuasaan perempuan dalam urusan kepuasan suami di ranjang. Sedangkan, jiwanya merupakan hak milik penuh tradisi sosial yang berlaku, harus cantik—nurut. 

Disinilah, Yuni diciptakan untuk mengemis belas kasih tradisi kepada siapapun yang menontonnya. Sebagai bentuk pemberontakan—pengingat perempuan terhadap ketidakadilan yang dilesatkan oleh kungkungan tradisi. Yuni, ialah lambang kemenangan sekaligus kekalahan secara bersamaan. Ia kalah karena tradisi berhasil membunuhnya, namun Ia menang karena asanya tetap hidup.


“Tak ada yang lebih tabah 

dari hujan bulan Juni 

dirahasiakannya rintik rindunya

kepada pohon berbunga itu” 

    Hujan di Bulan Juni, Sapardi Djoko Damono




DAFTAR PUSTAKA

Badriya, Y. (2022, Agustus 8). Suara Perempuan dalam Film-film Kamila Andini. Retrieved from Cultura: https://www.cultura.id/suara-perempuan-dalam-film-film-kamila-andini

CNN Indonesia. (2021, Desember 10). Arawinda Soal Adegan Seks di Film Yuni: Bukan Adegan Mesum. Retrieved from CNN Indonesia: https://www.cnnindonesia.com/hiburan/20211210171153-220-732603/arawinda-soal-adegan-seks-di-film-yuni-bukan-adegan-mesum

Dantiani, T. (2022, January 5). Magdolene. Retrieved from Merdeka Bersama 'Yuni': Wawancara Eksklusif Kamila Andini: https://magdalene.co/story/merdeka-bersama-yuni-wawancara-eksklusif-kamila-andini

Fajriyah, I. M., Mahdiah, Y., Fahmadia, E., & Lukitasari, I. (2020). Profil Perempuan Indonesia 2020. Jakarta: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Republik Indonesia.

Ida, R. (2014). Metode Penelitian Studi Media Dan Kajian Budaya. Jakarta: Prenada Media Group.

Kompas.com. (2021, Mei 20). Peringkat ke-2 di ASEAN, Begini Situasi Perkawinan Anak di Indonesia. Retrieved from Kompas.com: https://www.kompas.com/sains/read/2021/05/20/190300123/peringkat-ke-2-di-asean-begini-situasi-perkawinan-anak-di-indonesia?page=all

Nainggolan, S. Y. (2021, Desember 9). Medcom.id. Retrieved from Deretan Prestasi Film Yuni, Tayang Hari Ini di Bioskop: https://www.medcom.id/hiburan/film/0kpowwRb-deretan-prestasi-film-yuni-tayang-hari-ini-di-bioskop

Nurcahyani, I. (2019, Oktober 14). Viral soal "crosshijaber", apakah itu? Retrieved from Antara News: https://www.antaranews.com/berita/1111266/viral-soal-crosshijaber-apakah-itu

Rostanti, Q. (2021, September 21). Perkawinan Anak Meningkat 300 Persen Selama Pandemi. Retrieved from Republika.co.id: https://www.republika.co.id/berita/qzsg1d425/perkawinan-anak-meningkat-300-persen-selama-pandemi

White, P. (1998). Feminism And Film. Oxford Guide To Film Studies, 117-131.

Wibawa, I. S. (2012). Kecantikan Virtual : Identitas Perempuan dama Situs Jejaring Sosial. Surabaya: Departemen Komunikasi FISIP UNAIR.






Komentar

Postingan Populer