Menertawakan Kematian yang Agak Lain dalam Agak Laen (2024)


Oleh Nimas Safira W.W.

—Didedikasikan untuk #PejuangRupiah



“Two things that it may not seem wise to introduce into a television comedy are religion and death.” (Mckernan, 2018).


Argumen Mckernan (2018) mungkin mengingatkan kita pada eksperimen yang kerap dijadikan bahan bulan-bulanan : air dan minyak— dua substansi yang sangat berbeda dalam banyak aspek, sehingga tidak dapat bercampur dalam keadaan biasa. Sama halnya dengan menggabungkan genre film komedi dengan tetek bengek urusan agama maupun kematian. Formula kolaborasi dua rumpun yang bertentangan ini sangat mungkin berpotensi menciptakan jenis-jenis film kontroversial–kacangan: Kontra-normatif. Membingungkan. Atau bahkan menyesatkan.

Dalam industri yang kita percayai, film-film yang menyajikan narasi agama dan kematian, hukumnya ditulis dengan serius, berdrama-drama, ironi, hingga horor mencekam yang membuat penonton terkencing-kencing. Sementara, biasanya bumbu komedi–jika tidak gagal, hanya dimainkan dalam beberapa detik saja sebagai pelumas otot wajah penonton. Dalam film bertema kematian–horor terutama, bagi Prince (2004), naskah genre ini sudah bisa dipastikan menjual mental kecemasan dengan membawa agenda sosial-budaya yang diamini oleh masyarakat. Berbeda dengan genre klise lainnya—apalagi komedi, naskah film horor umumnya lebih banyak mengeksplorasi pertanyaan filosofis terkait hakikat keberadaan manusia dengan Sang pencipta maupun kuis-kuis diluar nalar lainnya. Daya tarik ini kemudian membuat Prince (2004) mengecap film horor sebagai genre paling kontemporer dan mungkin paling mendesak untuk dikuliti pemirsanya, menyebarkan teror ketagihan. Sebut saja hal ini gamblang terlihat dari kesuksesan ratusan film horor Indonesia selama lebih dari delapan dekade terakhir. Mulai dari Pengabdi Setan (1980), Ratu Ilmu Hitam (1981), Kuntilanak (2006), hingga megabintang KKN di Desa Penari (2022) sebagai ‘big boss perhantuan’ dalam industri perfilman Indonesia.

Kebalikan kotak kengerian dalam genre film horor, genre komedi disisi lain justru membawa agenda 3S (slengekan, slapstick atau satire) yang menargetkan kotak tertawa penonton. Argumen ini divalidasi oleh Olson dalam King (2002) yang menimbang eksistensi film komedi ditujukan lebih banyak berorientasi untuk menyenangkan hati. Hal ini juga berarti bahwa film komedi menjadi tiket bagi penonton untuk melarikan diri dari ketegangan dunia yang sedang mereka hadapi, meskipun narasinya terkesan abnormal—absurd—gendeng. Bahkan King (2002) sekali lagi menyebut jika keberhasilan genre komedi diukur melalui seberapa besar tingkah-tutur super ordinary tokoh dapat mengocok perut penonton.

Rasa-rasanya menggabungkan formula komedi dengan horor-kematian akan menghasilkan racikan film yang agak lain, canggung, dan nyeleneh. Ketidaknyamanan untuk mengenalkan pancaragam horor ke dalam komedi komersial berasal dari kekhawatiran akan mengarah pada agenda penyebaran isu sensitif yang memprovokasi chaos terhadap norma masyarakat. Kematian misalnya, wacana ini menimbulkan tantangan signifikan ketika diintegrasikan ke dalam komedi. Ketakutan dan kesedihan yang terikat dengan kematian membuatnya menjadi subjek yang mungkin tidak nyaman untuk ditertawakan. Sama sekali.

Meskipun demikian, dalam artikel ini kita tidak akan repot berpujangga mengenai betapa fatalnya eksperimen film yang memadukan genre horor-kematian dengan komedi tersebut. Justru sebaliknya, tulisan ini dimaksudkan untuk mengapresiasi ide brilian —atau setidaknya membedah keheranan saya pada narasi film Agak Laen (2024) yang benar-benar agak lain. Dibintangi kuartet utama —Bene, Boris, Indra, Oki, film ini secara mengejutkan berhasil menyulap genre komedi —yang seharusnya kosong dengan narasi tentang kematian secara padat, asing, dan tentu saja brutal. 

Dibungkus dengan kompleks, film garapan sutradara Muhadkly Acho ini menampilkan aksi konyol penjaga rumah hantu dengan ambisi besar namun tanpa pertimbangan, meninggalkan kesan humor yang polos dan ada apanya. Nyatanya, film slengekan ini sukses bertengger sebagai film dengan jumlah penonton terbanyak pada tahun 2024 dengan jumlah penjualan tiket bioskop lebih dari 9 juta (Santika, 2024). Lebih bergengsi dari itu, titel ini mengukuhkan Agak Laen sebagai film kedua terlaris sepanjang masa, satu nomor tepat di bawah Sang maha KKN Desa Penari. Kiranya, formula duet maut tema komedi-horor ini telah sukses besar ‘menghantui’ pasar film di Indonesia.

Atas dasar kekaguman inilah yang kemudian memandu saya pada satu stigma—sentimen yang terus berputar di otak saya : apakah terseretnya isu kematian dalam film ini memang benar memiliki tujuan mulia untuk memperkenalkan materi komedi yang revolusioner? Atau dalam penulisannya justru hanya ingin mengulang formula mainstream populer dengan menghadirkan tema horor —genre sejuta umat yang pada dasarnya berfokus untuk mencari keuntungan seperti yang sudah-sudah? Lebih dalam, apakah patut menggabungkan dua elemen bertolak belakang ini ke dalam satu narasi yang boleh ditertawakan? 

Pertanyaan saya ini diuraikan dalam tiga sub pembahasan kompleks : (1) Prahara Hantu-Hantu Batak untuk menelisik narasi drama yang tergambar dalam film bertema komedi; (2) Menertawakan Kematian untuk membedah representasi kematian sebagai tontonan yang lucu dalam film ini; (3) Ketika Kematian Menjadi Solusi untuk menyelidiki bagaimana director gaze menilik kematian sebagai jalan tengah untuk menuntaskan film.

  1. Prahara Hantu-Hantu Batak

“Kalian ini hantu, harus seram! Tak Bisa kalau modal jelek. Tapi yang paling penting menurutku, rumah hantu ini harus direnovasi, bikin yang seram, pasti ramai!” Ujar Okky—Sang sumber masalah sesungguhnya dengan menggebu (penggambaran saya pada adegan timestamp 10:54).


Film dimulai dengan menampilkan gemerlap Pasar Malam Rawa Senggol yang penuh warna. Gerakan kamera diarahkan secara follow untuk menyoroti punggung Bang Jongki yang bergerak mantap menyusuri setiap petak pasar malam miliknya, seakan memberikan penonton gambaran riuhnya transaksi mutualisme pengunjung—pemilik wahana. Nahasnya, kemegahan pasar malam ini justru semakin menegaskan stereotip kehidupan proletar. Aswin (2017), menyebut pasar malam keliling sebagai sebuah tempat untuk mempertemukan pedagang dengan pembeli dengan harga terjangkau, terutama menyasar kepada masyarakat kecil. Sehingga dalam hal ini, pasar malam pantas dijuluki sebagai alternatif hiburan bagi masyarakat bawah, mempekerjakan hormon endorfin—pemicu rasa bahagia setelah berjibaku dengan penatnya pagi hari. Pada akhirnya, film ini sukses dibuka dengan ceria—kaya warna, khas film komedi kebanyakan.

Sayangnya, kebahagiaan itu hanya hanya bertahan dalam beberapa detik saja. Tak mau berbasa-basi, pembuat film pada detik berikutnya seakan langsung menghadapkan kita pada permasalahan Sang Biangkerok dalam film ini, Okky—mantan narapidana yang mencoba peruntungannya kembali di pasar malam tersebut. Setelah diusir pemilik wahana ‘lempar bola—jatuhkan bencong’, Okky memilih bergabung dengan tim rumah hantu yang hampir bangkrut—jauh dari kata primadona. Keputusannya inilah kunci permasalahan bertubi-tubi bermula : Demi memenangkan hati ketiga pemilik wahana, Bene, Jegel, dan Boris, sang mantan narapidana tersebut secara sukarela nekat mencuri sertifikat rumah ibunya, memalsukan tanda tangan, dan menggadaikan rumah untuk modal ‘menyeramkan’ rumah hantu. Meskipun pada akhirnya sertifikat tersebut kembali ke tangan si-empunya, namun entahlah, mungkin film ini secara propaganda tetap ingin memasukkan nilai kemanusiaan dan ironi masyarakat urban dengan segala permasalahannya : kemiskinan. Apalagi bagi pendatang agar dapat bertahan hidup di tanah ibu kota—Okky dengan ibunya, Bene dengan rencana pernikahannya, Jegel dengan hutangnya, atau Boris dengan mimpi abdi negara orang tuanya. Semua bersumber dari satu pengejaran : uang. 

Untung saja film ini hidup atas nama komedi yang membenarkan seluruh kekonyolan, bahkan adegan yang terlihat dibuat-buat, imajinatif—nyeleneh—tak tahu malu sekalipun. Dengan sentuhan humor yang terus-menerus mengalir, film ini berhasil mengalihkan perhatian penonton dari permasalahan yang mungkin tampak memilukan jika dilihat dari sudut pandang lain. Atas nama komedi, selama film diputar penonton tidak sibuk mengasihani sang ibu atau mengecam Okky sebagai anak durhaka yang nekat mencuri harta satu-satunya. Sebaliknya, penonton awam disuguhi dengan berbagai situasi konyol dan karakter-karakter yang penuh warna, membuat mereka terpingkal-pingkal dan terhibur, lupa akan buku pedoman norma sosial. Kekuatan komedi dalam film ini adalah kunci untuk menjadikan seluruh rangkaian peristiwa yang terjadi terasa ringan dan menghibur, mengubah setiap kesulitan yang dihadapi Okky dan ketiga temannya sebagai tontonan tragedi ironi super menyenangkan. Toh, setidaknya seluruh penonton tertawa lepas, bukan?

Termasuk jokes ‘Hantu Batak’. Saya ingatkan, bukan saya yang terlewat terampil menamai sub-judul bab ini sebagai ‘Prahara Hantu-Hantu Batak’ dalam rangka memicu keributan dengan memunggungi salah satu daerah. Tidak. Tidak pernah terbesit dalam otak saya. Tetapi justru guyonan tersebut yang terus saya beri garis kuning dan saya renungkan. Berikut ini :


“Cok Setanne Batak tho?” (terjemahan : Sialan, hantunya Batak ya?). Dari dalam lubang, dua orang pengunjung rumah hantu terkencing-kencing melihat penampakan hantu kebingungan yang mencoba menolongnya.


Dikutip dari timestamp 1:37:38, dialog tersebut masih terus terngiang di kepala saya. Dapat saya ramalkan, lelucon extras tersebut 1000 persen jelas mengocok perut penonton. Membuat film ini semakin hidup. Sederhananya, humor akan semakin lawak jika sesuai dengan kehidupan sosial penontonnya. Rumus punchline dalam stand-up comedy yang terbiasa mengolok-olok dirinya sendiri, seakan memperkuat jati diri premis film ini (Darmawan, 2024). Pada akhirnya, film ini tidak hanya menampilkan representasi kelas sosial, tetapi juga membawa nama kedaerahan. Hal ini menambah dimensi pada cerita, membuatnya lebih resonan dan berarti bagi penonton yang merasa terhubung dengan latar belakang kedaerahan tersebut. 



  1. Menertawakan Kematian

“Kalau dipikir-pikir gampang juga cari duit ya? Modal kencing… (mengencingi makam Pak Basuki).” Kuartet menatap satu sama lain, tertawa atas keberhasilannya (penggambaran saya pada adegan timestamp 01:00:54).


Satu kutipan kurang ajar tersebut sukses membuat tokoh kuartet tertawa terbahak-bahak. Lebih dari itu, satu bioskop-pun dipaksa untuk ikut terpingkal, geleng-geleng kepala akan kelakuan sang protagonis. Saya memutar kepala ke kanan, segerombolan pemuda tertawa malu-malu kucing. Sementara saya memutar kepala ke kiri, seorang perempuan mencoba untuk tidak tertawa keras. Entah, bagaimana ekspresi penonton pada kursi diatas saya —yang jelas tawa renyahnya terdengar lebih keras. Namun yang pasti, situasi tersebut cukup membuat saya mengernyitkan dahi lebih dalam, sejak kapan kematian menjadi selucu ini?

Sejauh yang saya yakini, kematian dimaknai sebagai kehilangan; ketiadaan; atau bahkan kepunahan. Konsep ini menggambarkan akhir dari eksistensi fisik dan spiritual, dan secara mendalam mengandung makna yang kompleks. Setidaknya begitulah ujaran Safitri (2014) yang menyebut kematian sebagai peristiwa terpisahnya jiwa dan raga yang mengandung perasaan kecemasan, ketakutan, bahkan ketidaktentuan. Pemahaman ini mencakup tidak hanya bagi mereka yang mengalami kematian secara langsung, tetapi juga orang-orang yang ditinggalkan—yang sering kali menghadapi proses berduka dan penyesuaian terhadap kehilangan mendalam.

Dalam konteks dunia perfilman, tema kematian sering kali dituangkan dalam narasi yang serius dan penuh emosi. Berbagai genre film seperti action, drama, dan horor sering menggunakan kematian sebagai elemen sentral untuk mengembangkan cerita dan karakter. Sebut saja dalam film action, kematian sering kali menjadi katalisator bagi plot yang intens dan penuh aksi, memicu konflik dan motivasi bagi karakter utama untuk mengejar keadilan atau membalas dendam. Atau beralih dalam genre drama, kematian biasanya dieksplorasi dengan kedalaman emosional, menggambarkan dampak psikologis dan sosial dari kehilangan serta proses berduka yang dialami oleh karakter-karakter dalam film. Ada pula dalam genre horor, kematian seringkali dijadikan elemen menakutkan yang membangun suasana mencekam dan ketegangan. Kematian dalam horor dapat melibatkan unsur supranatural, hantu, atau makhluk mengerikan yang mengancam keselamatan karakter-karakter utama, menambah lapisan ketakutan dan kekacauan dalam cerita.

Saya rasa disinilah kekuatan Agak Laen. Film komedi nyentrik ini berani menarasikan tragedi kematian Pak Basuki dengan brutal dan kocak—calon wakil rakyat yang menghindari amukan istri sah dengan bersembunyi di wahana rumah hantu. Nahasnya, penyakit jantung yang diderita laki-laki itu justru membawanya pada petaka. Terkejut akan kehadiran hantu yang penuh dedikasi dan cita-cita besar : menjadi wahana primadona di Rawa Senggol. 

Alih-alih digambarkan menjerit-jerit dengan nuansa mengerikan, Agak Laen menyuguhkan kematian dalam cara yang jauh lebih unik dan mengejutkan. Kematian dalam film ini bukanlah sebuah tragedi kelam atau momen penuh kesedihan, melainkan sebuah mesin penghasil uang dan pembawa rezeki bagi kuartet protagonis—sekelompok karakter yang secara tak terduga terlibat dalam situasi absurd ini. Mereka memanfaatkan kematian sebagai sumber keuntungan, dan bahkan berbekal amunisi senjata Jegel yang mengencingi makan Pak Basuki, mereka menambah kegilaan situasi dengan komedi yang konyol, tidak masuk akal, dan dilebih-lebihkan.

Dalam dunia komedi yang dibenarkan dalam film ini, arwah penasaran Pak Basuki yang merasa tersinggung dengan perlakuan tersebut akhirnya mengamuk dan menakut-nakuti pengunjung dengan cara yang tak biasa. Pada akhirnya momen-momen dalam film ini dipenuhi dengan humor hitam (dark jokes) yang penuh sarkasme dengan tujuan menciptakan premis film yang unik tipikal arogansi penonton yang mencintai kontroversi (Mediasha, 2022). Penonton disuguhi dengan efek visual yang penuh warna dan set latar yang gelap, namun jauh dari kesan kelam yang biasanya menyertai tema kematian dan horor. Keberanian film ini untuk menggabungkan elemen komedi dengan tema yang berat, ditambah dengan suasana penuh harapan, ternyata membuat film ber-rating usia R13+ ini terasa sangat populer di kalangan masyarakat—yang mungkin merindukan keanehan dalam kehidupannya yang biasa-biasa saja. Apalagi ditambah dengan memanfaatkan warna-warna cerah dan desain set pasar malam yang penuh imajinasi untuk menciptakan pengalaman sinematik yang menggugah tawa, berbanding terbalik dengan konvensi kematian dalam film-film lain yang sering kali menekankan kesedihan atau ketegangan. Sehingga lelucon-lelucon yang mengalir lancar yang dilontarkan kuartet memberikan sensasi segar, membuat penonton merasa lebih dekat dengan karakter-karakter dalam cerita dan larut dalam kekonyolan yang ditawarkan. 

Dengan cara ini, film Agak Laen berhasil menghidupkan elemen tragis dengan nuansa yang jauh dari kesan konvensional kaku film komedi kebanyakan. Tragedi pribadi Pak Basuki telah disulap menjadi sebuah komedi situasi : di mana kematian tidak hanya menjadi titik akhir, tetapi juga menjadi titik awal dari serangkaian kisah persahabatan kuartet—yang sampai akhir tetap menjadi protagonis dalam melompati pembatas strata sosial.


  1. Ketika Kematian Menjadi Solusi

“Mamak udah nggak ada. Aku udah nggak punya rencana apa-apa. Oki minta maaf, Mak…” Seraya menangis tersedu-sedu, Okky menutup telepon dari adiknya. Badannya yang ringkih itu tak kuasa menahan kabar kematian ibunya, ia terduduk di tanah. Laki-laki itu telah gagal menjadi anak yang berbakti pada sang malaikat hidupnya tersebut (penggambaran saya pada adegan timestamp 1:47:37).

Sebagai penutup babak film, bisa dipastikan tidak ada yang tertawa dalam adegan ini. Kematian tidaklah dianggap sebagai sesuatu yang lucu lagi. Kematian telah kembali esensinya, ditangisi dengan seyogyanya—sedalamnya, sepilunya. Dalam momen ini, film Agak Laen menjauh dari nuansa komedi dan menghadapi kematian dengan cara yang lebih serius. Tentu saja dengan penuh penghormatan pula. Film ini dengan cermat menangani transisi dari komedi menuju duka. Menegaskan bahwa meskipun humor dapat membantu kita menghadapi kesulitan, ada saat-saat dimana penonton perlu menghargai kedalaman rasa kehilangan—Dengan catatan bahwa berita kematian tersebut dialami sang tokoh yang berkepentingan, seseorang yang berharga dalam hidup tokoh. Wajib berdrama-drama.

Saya yakin Muhadkly Acho—Sang Sutradara paham betul apa yang ingin disampaikannya. Dengan rekam jejak sebagai seorang komika yang kemudian terjun dalam sejumlah film komedi pada pertengahan 2010-ish lalu, Acho memulai debut sutradaranya pada film berjudul Gara-Gara Warisan (2022). Sehingga saya rasa Acho percaya diri meracik formula segar untuk membolak-balikkan perasaan penonton pada film terbarunya tersebut. Pendekatannya yang cerdas dalam menyelipkan refleksi tentang kematian dalam alur komedi tidak hanya memberikan penggambaran punchline seksis nan gelap yang nanggung, tetapi juga memberikan angin segar pada industri perfilman komedi di Indonesia. Menantang batas-batas genre yang terkotak-kotak, tidak seperti biasanya.

Pada akhirnya, film ini secara sadar membuka premis dengan kematian, dan menutupnya dengan kematian pula. Ya, sebagai solusi untuk mengakhiri film dengan indah dan termaafkan.



Daftar Pustaka

Aswin, A. (2019). FENOMENA PEDAGANG PASAR MALAM KELILING DALAM MENINGKATAN EKONOMI WARGA (STUDI FENOMENOLOGI). MEA, 91-97.

Darmawan, R. (2024, Februari 20). Profil 4 Anggota Agak Laen, Stand Up Comedian yang Kembangkan Podcast Bersama. Retrieved from Sindonews.com: https://lifestyle.sindonews.com/read/1325235/187/profil-4-anggota-agak-laen-stand-up-comedian-yang-kembangkan-podcast-bersama-1708419734/10

King, G. (2002). Film Comedy. London: Wallflower Press.

McKernan, L. (2018, Oktober 2018). A death in the comedy. Retrieved from https://lukemckernan.com/: https://lukemckernan.com/2018/10/06/a-death-in-the-comedy/

Mediasha, D. (2022). Sarkasme Dikalangan Komika Dark Jokes pada Program Channel Youtube Deddy Corbuzier. Jurnal Konsepsi, 413-425.

Prince, S. (2004). The Horror Film. London: Rutgers.

Safitri, R. (2014). Persepsi Terhadap Kematian dan Kecemasan Menghadapi Kematian pada Lanjut Usia. fpsi Mercubuana, 1-7.


Komentar