Corgito Ergo Sum


Alkisah, nun jauh di sebuah gubuk bejat. Diantara belaian kemuskilan yang menggigil. Lampu temaram membuat seekor lalat harus memicingkan inderanya bahkan hanya untuk bertegur sapa.

Ibu beruang tampak tergesa-gesa menyulut perapian di sudut ruangan. Tangan satunya membawa secangkir penuh delirium. Hanya itu bekal makan yang dapat ia suapkan kepada Sang buah hati. Mana ada busuk akalnya? Ia hanya sekadar ada.

Sedangkan ayah beruang mengamati sang rodong dengan penuh gairah, sambil ongkong-ongkong kaki di pojokkan. Penuh delusi, namun enggan menyantuni. Hanya roh desersi panggilannya. Otak setan! Bejat! Najis, Amboi! Pikirnya.

Dasar patriarki! Patriarki! Mana ada negeri seberang tahu? Mana mereka mau berindah-indah, sementara mereka sibuk mereken demang? Demang! Demang! Hanya rente dalam otakmu!

Lihatlah, bocah itu mendekap erat kroni kecilnya, kedasih dengan rambut hitam. Satu-satunya di dunia ini yang mengerti dirinya, teman hidup. Cicitnya mengingatkannya pada kejayaan. Dulu, dulu sekali ketika epidemi privilese hal yang tabu, ketika nurani masih bersemayam dalam nafsu.

Ratu tega, ratu tega, ratu tega! Tega kau! Apalah arti kekejian jika hatinya telah ternodai? Terenggut sudah masa kecilnya. Hanya hidup, mati segan. Apadaya  detensi bukan lagi alasan, bukan pula menjadi  penyakit separah kolera. Ia ada, dan ia berpikir. Cukup itu. Cukup dirinya yang harus bernapas. Tidak kurang.


Blue tesentak dari pandoranya, gadis itu cepat-cepat menutup buku. Gerah, ngos-ngosan, iba. Ia merapalkan lantunan elusif. HEI!!! HEI!!!

Lantang, ia malu sebenarnya,
"Atas nama diskrepansi,
Atas nama aberasi,
Hak kami telah kalian nodai! Mahkota kami kalian gadaikan! Inikah balasan untuk sebuah janji?!
Aku mungkin bukanlah wujud perdamaian, aku juga bukan sebuah kepastian, tapi hati tetaplah hati.
Persetan!"

Blue, Blue! Wanita murahan, ia begitu mudah terpercik serat. Adakalanya hanya ikut-ikutan.
Siaganya telah diperkosa kewelasan. Heran, ia masih mampu bertahan.

Tapi afeksi bukan sekadar pemantik. Penyintasan ke barat tetap berlanjut, walau angin nestapa mengalun-alun menggoda belaian. Tapi percayalah, pandemi terbesar bukanlah Black Death atau World War, juga bukan pertarungan para penguasa bedebah.
Ialah rasa.


Komentar