Hai, Aku Sore! : Time Loop, Histeria, dan Jika
Kritik Film Indonesia
Hai, Aku Sore! : Time Loop, Histeria, dan Jika
Oleh : Nimas Safira Widhiasti Wibowo
Tulisan ini bukan ulasan teknis. Ini lebih mirip catatan personal—campuran dari perasaan, teori, dan renungan yang muncul setelah menonton Sore versi film. Sebuah upaya untuk memahami mengapa film ini begitu menggugah, dan apa yang sebenarnya ia tawarkan di balik lapisan kisah cinta, kematian, dan pengulangan waktu. Diskusi ini akan dibagi menjadi 3 babak, diantaranya : (1) Sains dalam Romansa: Time Loop sebagai Siklus Trauma dan Harapan; (2) After Effect: Jika Aku Adalah Sore; (3) Yandy Laurens’s Gaze: Eksperimen dan Histeria Etis.
Sains dalam Romansa: Time Loop sebagai Siklus Trauma dan Harapan
“Jika waktu adalah garis lurus, maka cinta yang ditinggal mati adalah tikungan yang terus menolak diluruskan.”
Dalam lanskap sinema Indonesia yang selama lebih dari satu dekade terakhir dipenuhi oleh eksorsisme visual dan repetisi cerita berbasis horor domestik itu-itu saja, Sore datang seperti partikel bebas dari dimensi alternatif—film eksperimental tentang struktur ruang dan waktu. Narasinya menawarkan sesuatu yang langka: semesta alternatif di mana cinta tidak mengenal garis lurus kronologis, melainkan berputar dalam lingkaran setan keputusasaan. Dan justru di sanalah daya magis film ini: Sore memanfaatkan teori sains sebagai alat kontemplasi tentang pilihan, kehilangan, dan realitas yang bercabang.
Mari kita tarik benang teorinya, dalam fisika kuantum, konsep time loop atau lingkaran waktu sering dikaitkan dengan ide bahwa waktu bisa berputar dan peristiwa bisa terjadi berulang. Salah satu tokoh yang memperluas gagasan ini adalah Kurt Gödel, matematikawan dan fisikawan yang pada 1949 merumuskan solusi terhadap persamaan relativitas umum Einstein. Teori ini menarasikan kemungkinan terjadinya Closed Timelike Curve atau jalur waktu tertutup—yakni kondisi di mana waktu bisa melengkung dan kembali ke titik semula (Throne, 1993). Walau masih teoretis dan belum terbukti, konsep ini menginspirasi ribuan karya fiksi ilmiah populer dunia, sebut saja sastra Slaughterhouse-Five karya Kurt Vonnegut; puisi Burnt Norton oleh T.S. Eliot; novel The Time Traveler’s Wife karya Audrey Niffenegger; hingga film seperti Predestination, Your Name, atau series tak berkesudahan milik Marvel Cinematic Universe.
Maka dalam konteks ini, terlalu tak pantas rasanya jika menyebut film Sore : Istri Dari Masa Depan sebagai film cinta, genre yang biasanya diarahkan pada penceritaan santai nan menye-menye belaka. Ia lebih layak disebut sebagai mega melodrama yang membungkus ketakjuban sains dalam narasinya. Thomas Elsaesser (1990) sendiri dalam tulisan melodrama-nya, menyebut tradisi ini lebih banyak merujuk pada konflik batin tentang kerinduan tak terselesaikan, menjadikannya sarana refleksi terhadap hasrat dan kehilangan. Biasanya, genre film ini menawarkan eskapisme emosional, yakni pelarian diri melalui aktivitas atau imajinasi. Di sini, penonton diajak menangis, tertawa, dan merasakan luka-luka kecil, seraya menghadapi kenyataan bahwa cinta butuh perjuangan yang besar pula.
Pada akhirnya, Sore: Istri dari Masa Depan bukanlah film yang sepenuhnya romance, tetapi juga tidak benar-benar sci-fi. Ia jenis film yang setengah-setengah, mengambang. Film ini bahkan tidak menjelaskan secara eksplisit alat atau metode perjalanan waktunya—tidak ada kemegahan mesin, tidak ada eksperimen ilmiah spektakuler seperti dalam mega bintang Interstellar atau Tenet. Yang ada hanyalah narasi jalan masuk looping melalui atmosfer beku di kutub, sinematik aurora borealis yang misterius, dan waktu yang terus mengejar. Alkisah, setiap kali Sore gagal menyelamatkan suaminya, Jonathan, ia menciptakan semesta baru. Dunia bercabang dan takdir berpecah. Namun rasa duka tetap konstan, menjadi semacam konstanta universal yang menolak dienyahkan oleh usaha seheroik apa pun.
Saya sangat yakin Yandy Laurens, sebagai sutradara, memanfaatkan ketakutan kolektif terhadap konspirasi sains sebagai pintu masuk bagi kapitalisasi trauma—pada memori, harapan, dan keputusasaan penontonnya. Namun, begitulah genre sci-fi bekerja: sebagai genre yang subtil, ia memanfaatkan ketakjuban (amazement) dan kegelisahan sebagai satu paket perasaan yang dikomersialisasi secara bersamaan.
Secara teoritis, sejatinya kegemaran manusia terhadap sci-fi (science fiction) dapat dibaca melalui lensa psikologi eksistensial dan cultural theory. Menurut teori sublime science fiction ala Fredric Jameson, genre ini adalah simulasi atas masa depan yang gagal dipahami dalam kerangka waktu sekarang (Jorgensen, 2005). Dengan kata lain, sci-fi adalah fiksi yang memberi ruang pada penontonnya untuk membayangkan sekaligus menggigil akan ketidaktahuan terhadap suatu hal. Genre ini juga mempermainkan paradoks, yakni menawarkan teknologi dan spekulasi sebagai harapan, sekaligus memunculkan kegamangan tentang siapa kita dan ke mana kita akan menuju di masa malu, masa kini, dan masa depan.
Dengan demikian, Sore saya kira lebih dekat pada film-film seperti About Time (2013) yang memadukan elemen romantis dengan konsep perjalanan waktu untuk mengeksplorasi pentingnya menghargai setiap momen dalam hubungan, atau Before I Fall (2017) yang menyelidiki dampak etis dari pengulangan hari yang sama. Maka, seperti film-film melodrama populer garapan Hollywood yang memanfaatkan kengerian time loop, Sore menjadikannya sebagai refleksi ruang batin, yakni tempat penonton digurui tetek bengek urusan menerima, melepaskan, dan mencintai.
Di sinilah kekuatan utama film ini. Konsep time looping sebagai sistem eksistensial yang memaksa tokohnya—dan penontonnya (terutama saya) untuk merenungi hakikat pilihan, usaha, dan keterbatasan manusia. Berapa kali kita harus mengulang luka yang sama agar seseorang benar-benar berubah? Atau berapa banyak versi dunia yang harus kita jalani demi satu realitas yang lebih baik?
Yang pasti, film ini jelas berusaha untuk menggurui penonton untuk mengeksplorasi wacana mencintai dan dicintai.
After Effect: Jika Aku Adalah Sore
Berapa kali lagi harus menghela napas sambil ngedumel, “Ah… serius balik lagi, nih?”
Pertanyaan ini bukan sekadar gumaman lelah, melainkan lebih seperti jeritan kecil saya ketika narasi terus-menerus mengulang langkah yang sama, hari yang sama, dialog yang sama, tetapi magisnya dengan rasa yang justru makin menyesakkan (mungkin karena efek background music yang diputar terlalu keras). Termasuk ketika adegan ketika Sore terbangun disisi Jonathan dengan gaun birunya yang ikonik dan mengulang pertemuan pertama mereka. Membuat saya hampir saja menguap—tatkala Sore kembali memperkenalkan diri dengan senyum yang itu-itu saja, “Hai, aku Sore, istrimu dari masa depan.”
Dari babak awal hingga tiga perempat film, kita tidak diberi jalan pintas atau clue gamblang untuk keluar dari siklus itu. Tidak ada tombol skip. Suka ataupun tidak, justru penonton dipaksa menonton semuanya kembali, seperti menonton rerun hidup yang tidak pernah kita minta. Plotnya berputar lambat, bertele-tele, dan terasa menyiksa—menuntut penonton untuk ikut berada dalam kepala para karakternya.
Saya harus jujur, pengalaman menonton Sore terasa seperti duduk terlalu lama di ruang isolasi: pengap, hening, dan tak ada pintu keluar. Ini jelas semacam penyiksaan batin yang dikaburkan dengan keindahan visual dan musik-musik romantik yang menipu. Ditambah lagi rasa frustasi karena pengulangan itu membawa kita untuk menghadapi luka dan trauma yang sama. Penonton tidak diberi kemewahan untuk menjauh dari rasa kehilangan dan selalu kembali ke pusat luka yang sama. Sungguh begitu lelah…
Mungkin saya terlihat melebih-lebihkan, namun apa yang terjadi di sini dapat dijelaskan lewat teori transportation dalam narasi. Menurut Green dan Brock (2000), ketika penonton terseret dalam sebuah cerita, mereka mengalami pergeseran psikologis, yakni logika, perasaan, bahkan ingatan mereka ikut terdampak. Sebuah cerita yang kuat dapat mengubah cara pandang seseorang, bahkan tanpa disadari. Dan Sore bekerja dengan mekanisme itu. Ia memengaruhi dengan membiarkan kita merasakan. Efeknya bisa secara visceral, yakni langsung menembus emosi terdalam.
Hal ini juga dibahas dalam teori Murray Smith (1995), yang menjelaskan proses identifikasi dalam film terbagi menjadi tiga: recognition, alignment, dan allegiance. Saya berikan gambarannya : Pertama, kita mengenali tokohnya sebagai manusia yang realistis, dengan luka dan harapan yang bisa kita berikan simpati. Kedua, kita terhubung secara emosional dengan cara kamera mengajak kita untuk melihat dari sudut pandangnya: close-up pada wajah yang cemas, musik yang senyap ketika ia pasrah, atau tangisan melalui sorot matanya. Dan akhirnya, ketiga, kita berpihak padanya. Kita ingin ia keluar dari siklus itu. Kita bersimpati dan ingin memeluknya : "Kamu nggak sendiri."
Inilah kekuatan sinema ketika ia mencapai titik empathic engagement. Film tidak lagi hanya menyuguhkan cerita, tapi membangun jembatan afektif antara dunia di layar dan dunia batin manusia. Dalam hal ini, film dengan kekuatan magisnya membuat penonton merasa bersalah, berharap, cemas, dan kehilangan, seolah-olah semua itu terjadi pada diri kita sendiri.
Dan saat film usai, tidak ada jawaban yang bisa benar-benar menenangkan. Termasuk dalam keheningan kredit akhir, saya tidak tahu harus merasa puas atau justru lelah. Yang jelas, saya tahu satu hal: saya ikut terjebak, dan saya ikut terluka.
Yandy Laurens’s Gaze: Eksperimen dan Histeria Etis
Mungkin inilah alasan mengapa Sore: Istri dari Masa Depan terus menjadi buah bibir bahkan berhari-hari setelah lampu bioskop padam. Bukan semata-mata karena Yandy Laurens berhasil menyuguhkan keindahan visual—panorama Kroasia dan Finlandia yang diselimuti salju, palet warna hangat yang perlahan berganti menjadi tone dingin, atau musik latar yang bertransformasi dari lirih dan romantis (dengan simbol dagang Gaze dan Forget Jakarta milik Adhitia Sofyan) menjadi tempo cepat (Pancarona dan Terbuang dalam Waktu milik Barasuara yang diputar terlalu keras, sehingga seolah memaksa penonton terhanyut dalam pusaran emosi, tanpa sempat mendengarkan elemen background music alam yang lain), melainkan karena sang sutradara, tahu benar bagaimana merancang kehancuran psikologis penontonnya.
Termasuk di dalamnya adalah penggambaran kritik terhadap keputusan Sore sebagai sosok juru selamat, yang merujuk pada narasi stereotip di mana perempuan sering ditempatkan secara sukarela sebagai pihak yang paling bertanggung jawab untuk menyelamatkan, memperbaiki, atau mengubah laki-laki—baik secara emosional, moral, maupun sosial. Sejujurnya, hal ini memang lumrah ditemukan dalam banyak karya sastra, film, maupun budaya populer. Memang begitulah nahasnya, perempuan acapkali digambarkan sebagai sosok yang rela berkorban, memikul beban emosional, dan menjadi pemicu pertumbuhan atau penyembuhan bagi tokoh pria.
Yandy Laurens meramu rasa kegetiran, keputusasaan, dan tanggung jawab moral yang dipikul Sore menjadi satu harmoni sinematik dalam durasi 119 menit. Ketika saya menyadari bahwa film ini menyodorkan konsep yang nyaris belum pernah disentuh dalam perfilman Indonesia—time looping eksistensial yang tidak terikat pada mesin atau kalkulasi saintifik, maka saya pun memahami bahwa ini bukan sekadar film. Saya menyebutnya lebih sebagai sebuah pernyataan: sebuah manifesto gebrakan tentang betapa jauhnya sinema Indonesia mampu menembus batas realitas dan imajinasi, namun tetap membumi—dengan menampilkan stereotip gender yang diamini masyarakat.
Mari melirik sang sutradara. Yandy Laurens sendiri bukan nama baru dalam dunia sinema; ia kerap memproduksi mega drama slice of life Indonesia, sebut saja Keluarga Cemara (2018), Jatuh Cinta Seperti di Film-Film (2023), hingga 1 Kakak 7 Ponakan (2024). Sebelumnya, ia adalah dalang di balik Sore: Istri dari Masa Depan versi series yang tayang perdana pada 1 Februari 2017 silam. Kala itu, narasinya dibalut rona warm, penuh adegan manis yang menghangatkan hati dan membuat kisah ini begitu membekas.
Namun lewat Sore: Istri dari Masa Depan versi film, Yandy seolah memperbarui definisinya sendiri sebagai salah satu sineas paling visioner di generasinya. Dengan pendekatan yang berani untuk keluar dari pakem, ia menyetel ulang ekspektasi penonton terhadap apa yang bisa ditawarkan sinema Indonesia. Ia bahkan berhasil mengarahkan recast karakter Sore dan justru menjadikannya kunci utama dalam membangun narasi cerita yang lebih kokoh ketimbang versi series-nya.
Dan mungkin, disitulah masa depan sinema Indonesia mulai bergerak. Dalam beban etis, pengulangan, dan sore yang tak kunjung selesai.
Daftar Pustaka
Thorne, K. S. (1993). Closed timelike curves. In C. Kozameh (Ed.), Proceedings of the 13th International Conference on General Relativity and Gravitation. Institute of Physics.
Elsaesser, T. (Ed.). (1990). Early cinema: Space, frame, narrative. London: British Film Institute / Bloomington: Indiana University Press.
Jorgensen, D. J. (2005). Science fiction and the sublime. The University of Western Australia. Retrieved from https://research-repository.uwa.edu.au/files/3298216/Jorgensen_DJ_2011.pdf
Green, M. C., & Brock, T. C. (2000). The role of transportation in the persuasiveness of public narratives. Journal of Personality and Social Psychology, 79(5), 701–721. https://doi.org/10.1037/0022-3514.79.5.701
Smith, M. (1995). Engaging characters: Fiction, emotion, and the cinema. Oxford: Clarendon Press.
Komentar
Posting Komentar