Viabel dalam Pelukan Temaram Gelebah

Blue, hari ini ia hanya duduk lunglai menikmati kopi hitam pekat dan tentu saja, senja. Bukan karena omongan kawan atau rangkulan gaya milenial, ia hanya suka memperhatikan lalu lalang peradaban.
Tanpa melepaskan lamunan, diambilnya sejumput rasa kerinduan yang kemarin sempat terpendam, terdesak oleh keingintahuan.

"Untuk apa aku disini?" Pekiknya dalam bisu.

"Untuk apa aku mengadu?" Ia tak ingin, tetapi air matanya telah keluar bersamaan dengan rasa itu, rindu.

Tak ada gurauan lain, ia hanya rindu menjahili kecebong di selokan belakang rumah atau berlagak dewasa saat umurnya bahkan belum menginjak sembilan. Percayalah, seandainya saja bisa, ia juga tidak ingin memutar ulang VTR milik Poniaff, yang diinginkannya adalah tidur dan mendekap erat boneka Teddy Bear-nya. Bermimpi bahwa esok akan baik-baik saja sembari merapalkan lantunan pujian.

Belum banyak yang ia ketahui, tapi dasar mental lemah! sampah! Blue takut akan badai, Ia juga bukan gadis yang tahan dengan petir. Katanya, biarlah pelangi yang datang, jangan hujan. Ck, Naif memang.

Omong kosong. Siapa yang harus seorang gadis kecil percayai di dunia ini?! Penguasa? Jangan ditanya, mereka hanya sibuk memutar dadu emas mereka sampai lupa meninggalkan bekas makanan untuk para punggawa di depan istana. Atau Sang peramal? Sorry to say, tapi ia belum cukup mampu -sangat tidak mampu malah- bahkan hanya untuk bersedekap. Pilihannya, hanya dirinya atau dirinya yang paling dalam.

Blue menghembuskan napas berat, boleh dikata ia setengah gila karena merindu. Apalah arti Panasea jika ia tidak bisa menemukan obat mujarabnya?

Hidup, tetapi hanya hidup.
Ada, tetapi tidak puas mencari.
Berlari, tetapi ia mulai kelelahan.

Blue segera bangkit, meraup jaket kulitnya begitu saja, ia tahu apa yang kurang. Ia tahu kepingan puzzle yang hilang. Selagi bisa, ia akan berlari, masa bodoh dengan laju aksi atau reaksi.

Ia hanya akan pulang.

Komentar