Sebuah Kisah Sederhana



Biru, gadis itu kebingungan menatap sebuah buku kusam yang penuh dengan coretan tinta hitam —tergeletak begitu saja di bibir pantai—

Milik siapa?

Tidak sopan memang, tetapi gadis itu memungutnya, menengok kanan-kiri untuk memastikan tidak ada yang mengklaim kepemilikan. Amat sangat perlahan, takut buku itu mungkin semua bom bunuh diri —tentu saja tidak mungkin—

Gadis itu tegang. Atensinya tercurahkan sepenuhnya pada sampul buku itu. Tidak ada yang spesial memang, hanya sampul cokelat hitam yang penuh dengan coretan tangan seseorang yang sedang ingin mengutarakan isi kepalanya, mungkin.


Aaaaaaaa Untuk kamu.
Bukan. 
Rasa itu. Bbbbbbbbgkdjd
Salah. 
Akankah sama? Jksjehejrhrh
Lupa. Lupa. Lupa.


Hanya itu yang bisa gadis itu tangkap. Selebihnya hanya coretan garis lengkung, panjang, putus-putus, atau gambar sarang laba-laba.

Atensinya kini beralih ke halaman pertama. Masih tidak terbaca. Halaman kedua. Hanya sebuah gambaran rumah gaya anak TK, satu pintu, dua jendela, ada sosok manusia garis disana, melambai. Tidak sabar, Biru membuka langsung halaman di tengah. Got it!

Tepat sebuah tulisan yang cukup waras untuk dibaca. Tulisannya kabur disana-sini,
namun jelas sudah maknanya. Semacam diary?


Hai kau!
Kau yang putih sebening embun atau kau yang hitam sepekat cemani.
Kau mungkin tidak akan pernah membaca pesanku ini, kau juga mungkin membaca tapi kau tidak peduli.

Aku merasa pesanku ini sia-sia, namun apalah, aku tetap menulis. Persetan dengan tanggapanmu! Aku tidak peduli jika kau mengabaikanku! Aku juga tidak peduli jika hanya menganggapku angin berlalu! Aku tidak apa-apa... tidak apa-apa... tidak... apa-apa.

Sial!!!! Aku tidak baik-baik saja, bodoh!!!!

Kau bukan yang pertama. Banyak pendahulumu. Semua sama. Sia-sia. Hanya aku yang jatuh. Terlalu tinggi untuk merendah atau terlalu rendah untuk bermimpi?

Sulit mengucap ketika lidah tidak mengecap, sekalipun hati berbicara. Hanya sumpah serapah di dalam relung yang bisa terucap. Aku bukannya ingin abai, hanya saja ada lampu merah di otakku. Sepi. Aku hanya bisa menunggu.

Jelas, aku tahu sebuah penantian yang tidak bermakna. Kau peduli amat, aku menunggu. Kau duduk di singgasana, aku menunggu. Kau berpikir langit ketujuh, aku juga menunggu. Mana ada singkron? Hanya aku yang menunggu. Barangkali.

Kau mungkin punya teman. Lebih. Lebih. Lebih. Tetapi demi Tuhan!!! Jangan memberi umpan jika kau tak ingin mendapatkan si ikan kembung yang buruk. Biarkan dia berenang dengan bebas, punya teman, punya screenplay sendiri. Ia juga ingin menjadi tokoh utama yang Tuhan berikan.

Toh, mungkin, mungkin saja semua akan berakhir. Dua bulan? Tiga bulan? Satu tahun? Ikan kembung juga ingin bahagia. Tidak terpikat kail busuk.

Haruskah ikan kembung menyerah? Bagaimana ia bisa?

Kau, entah berapa persen kemungkinan. Saat kau membacanya, saat kau mengerti pesannya. Katakan padaku untuk pergi atau menetap?


Selesai sampai disitu. Biru memicingkan matanya. Apa? Apa maksudnya? Ia sama sekali tidak memahami tulisan kekanakan tersebut. Baiklah. Mungkin ia tidak perlu ikut campur dengan permasalahan si pemilik buku.

Dengan cepat, ia mengembalikan buku tersebut ke tempat yang seharusnya. Tidak ada celah. Tepat. Semua harus kembali ke tempat yang seharusnya. Harus.

Senja kali ini, tidak ada yang spesial. Sama. Waktu berlalu, matahari turun tahta, rembulan menggantikan. Dan Biru harus melanjutkan hidup.

Komentar

  1. Setidaknya lewat ketidaksopanan Biru, kita tahu Ikan Kembung juga ingin bahagia 😌

    - Sukaa bangett cerita²nya mbakk.. gaya bahasa sama cara penulisannya nagihh bangett 😁

    BalasHapus

Posting Komentar