Ngabdi Dalem



Blue, matanya menyapu bersih tumpukan diksi yang sempat tertohok di kerongkongan.

"Rimpuh," bisiknya lemah. Barangkali memenuhi syarat jual lelang. Busuk, tepatnya.

Jangan terus menyalahkan, gadis itu juga sama bingungnya dengan hujan di bulan Maret. Dingin, namun menyesal datang. Semuanya telah berubah sejak yang ia ingat. Tidak ada lagi pilau yang membawanya ke jurang penasaran. Atau tidak perlulah saban hari kambing melongok keluar jendela.

Jangan tanya lagi, sudah ia tegaskan, ia tidak menyesal. Lagipula, singa tidak seberani itu menghantam kambing yang curi-curi pandang padanya. Singa akan selalu menjadi singa. Pengecut. Mencari jalan ke atas tetapi lupa bagimana caranya turun. Lupa cara beritikad. Lupa pada si kambing, ah..

Tidak perlu bakung putih, sebenarnya kambing cukup menyukainya. Sumarah, katanya mantap.

Ada satu hal yang ia benci, permulaan. Batang yang telah mati, ujug-ujug tumbuh di tempat lain. Tidak sama persis, hanya sama. Disangkanya lebih megar, suarnya lebih elok, bertahan dalam romansa. Demi Zeus! Ia salah perhitungan. Bangun tidak pernah sama dengan jatuh. 

Pair jantungnya terkikis buana. Amboi! Amboi! Dikiranya lepas, siapa sangka malah terantuk dinding penjara di Philadelphia. Sudah begitu, dihantam dekap rahsa oleh bhava. Sial, mau sampai kapan kemalingan? Salah, mau sampai kapan diteriaki maling?!

"Ini buruk!" pekik Blue tertahan, ia kembali memelototi sisa-sisa kengerian itu. Netranya menari di udara, terjepit. Ada bunga yang tak seharusnya tumbuh. Ada rumput yang seharusnya sudah lama disiangi. Kenapa malah dibiarkan memar? Kenapa pula harus bersebelahan?

"Kau tidak apa-apa?" tanya Pak Kusir dari depan, tangan kanannya sibuk memegang tali kekang dokar. Sementara tangan kirinya sibuk dikibat-kibatkan, mengusir nyamuk.

"Buruk."

Pak Kusir kembali menoleh, kali ini sudah mengerti kondisinya, "Seberapa buruk?"

Kali ini gadis itu ringkih menoleh, "Dengar, aku bukan bertanya karena aku sudah lelah, aku juga bukannya menjatuhkan angkara. Tetapi apa kau menyukainya? Menjadi abdi dalem? Tunduk pada perintah Adipati? Menjadi kambing hitam? Terseok-seok dalam kubangan sementara ia berjalan diatas permadani."

"Ya aku suka."

Blue mengerang, "Ah..Sial."

Laki-laki setengah baya itu menghentikan kudanya, kali ini ia benar-benar menoleh pada gadis bermata sendu di belakang, "Jangan bodohi dirimu! Aku tahu kau muak menjadi santiran?"

Blue mengangguk enggan, "kau benar. Ta-"

"Tapi kau tidak bisa?" Pak kusir buru-buru memotong.

Kali ini Biru hanya mengangguk kecil.

"Maka yakinlah. Sama seperti Rahwana, hari dimana ia menggondol Shinta."

Gadis itu memicingkan matanya, "Aku bukan Rahwana, Paman!"

"Apa bedanya?"

"Semuanya. Aku. Bukan. Dia."

Pak kusir mengangguk, "Maka buatlah perbedaan."

"Caranya?"

"Menghilang atau mengabdi. Putuskan."

Dan hari ini, gadis itu kehilangan suaranya. Ah merepotkan memang.


Komentar