A Story of Maleo

A Story of Maleo

Cungurnya misuh-misuh, Biru sangsi ketika dipaksa harus kembali ke tempat ini. Namun apa daya, nasi telah menjadi bubur. Ia telah memilih menyembah si empunya tegalan. Lagi.


“Tuhan, inikah balasan buat orang yang takabur?!” Jeritnya vokalees.


Hatinya sudah jempalitan melantur, namun tapakannya tetap menari huhuhaha membelah  belukar.


Sekali lagi, dengan tatapan jijik ia melihat sekelilingnya. Pohon Junti membelalak bak preman di kiri-kanan. Di salah satu dahan, samar-samar seekor Maleo berjenis ‘amat Senkawor’ menatap lekat mata merah Biru seakan bilang : amuliho.


Siapa sangka, hal tersebut justru memberikan dorongan pada gadis itu untuk menyambanginya. Ia memang tidak pandai bergurau, tetapi ia berani sesumbar mampu memahami keinginan burung itu. 70 persen.


“Bicaralah. Aku tahu kau mengaduh dari tadi. Kau terluka?” Biru memandang dari bawah. Wajahnya serius. 


Ajaib, Sang Maleo tersenyum girang. Hancur sudah penyamarannya. Benar kata neneknya, sepandai pandainya tupai melompat, ia tidak pernah ditakdirkan menjadi siapapun, termasuk tupai.


“Tidhaaakk…” suara Maleo serak. Burung itu berdehem, membetulkan kidungnya yang sejak tadi ia simpan di laci rumah nenek. Serak. Ia melanjutkan, “Jangan urusi urusanku.”


Biru menyeringai, “Baiklah. Kalau begitu jangan mencariku lagi. Jangan membuatku berjalan 7 kilometer seperti orang bodoh. Kebingungan. Kau tahu seberapa karutnya aku harus menyusuri hutan ini, bangsat!”


Tangannya mengepal, “Satu lagi, kalau mau sok jadi jagoan jangan keluar kandang. Berdiamlah. Diam saja. Jangan banyak gaya. Menyisir saja kau tidak becus, masih berani bermimpi melintasi pelangi? Dasar bodoh! Kau stupiest burung yang pernah aku jumpai!!!”


Gadis itu berbalik, kembali misuh-misuh. Senewen sekali hatinya. Sentimen goblok!


Namun dasar nubuatnya, ia kembali berbalik. Menghampiri Maleo. Berjinjit. Mencium burung itu tepat di sayapnya. Perasaan hangat langsung menjalari dahan di sekitar mereka.


“Kau tahu aku tidak pernah serius dengan seluruh omong kosong tadi. Terbanglah.”


“Sudah kulakukan.” Jawab Maleo enteng.


Biru berjengit, kesabarannya hanya setipis tisu di bagi dua, “LALU APA MASALAHNYA?! MENGAPA KAU MERAJUK SEPERTI SEORANG BAYI?! KAU SELALU BERTELE TELE LAYAKNYA PARA PENGUASA.”


Suara menggelegar gadis itu membuat suasana sekitar kembali hitam. Kesiur melambai di ujung anjungan. Di sebelah barat daya, tepatnya.


Cukup lama mereka hanya saling berdiam. Meracau kesana kemari dalam pikiran.


Maleo membuka suara, “Jadi katakan padaku, aku yang selalu merongseng atau kau yang tidak pernah mau memahami runtukanku?”


“Kau buta? Aku selalu makan yang hanya menjadi jatahku, saat kau dengan segala kemunafikan-blabla menyantap kalkun di atas meja. Persetan dengan etika tetek bengek mu itu, dasar pusat dunia brengsek!” Biru mundur. Perlahan, namun cukup membuat langit berubah menjadi biru kristal.


Udara dengan drastis menurun. Menyisakan api guam yang membakar dahan disana sini. Demi kerang Neptunus, terlambat! 


Terlambat sudah untuk memperbaiki dahan yang terlanjur diperas. Antitesis telah berubah menjadi beku sepenuhnya.


Maleo tersenyum. Matanya berbinar. 


“Aku mengerti. Tidak apa-apa. Kau mungkin saja bukan peri gigi yang bocah-bocah harapkan. Pulanglah. Bukankah katamu lebih nyaman untuk memunggungiku? Begitu cara kerjanya selama ini kan, jagoan?”


Entah kekuatan dari mana, burung setan itu menjentikkan jari. Seketika semua berubah menjadi putih. Hitam. Abu-abu. Entahlah, penulis tidak bisa mendeskripsikannya. Jika kau pernah melihat abisal, ini nampaknya lebih pekat. Ya, sekitar seribu tujuh puluh tiga kali lipat.


Biru menarik napas sekali. Ia mengerti sekarang. Tidak ada penyesalan dalam setiap inchi sentuhannya. Sahabatnya itu akan melanjutkan hidup, begitupun dirinya. Mereka bukan makanan sisa yang terus dikerubungi lalat. Mereka juga tidak boleh ketinggalan kereta pertama yang berangkat subuh ini. Semuanya teratur. Eratur. Ratur. Atur. Tur. Ur. R. .












Namun, sekali lagi dalamnya laut siapa sih yang bisa tahu?


Ps : ini bikinnya pas ga lagi capek kok



Komentar