Kapan Kawin? (2015) : Seni Meracik Mantu Idaman (Sebuah Perjalanan Klasik tentang Penemuan Obat Dunia)

Kapan Kawin? (2015) : Seni Meracik Mantu Idaman 
(Sebuah Perjalanan Klasik tentang Penemuan Obat Dunia)


Nimas Safira Widhiasti Wibowo

—Pernikahan adalah tropi penanda ikatan janji dua hati. Kekuatannya mengobati seluruh penyakit di dunia.



(Alert! Tulisan ini merupakan bentuk perayaan atas keberpihakan pembuat film Kapan Kawin? (2015)

kepada kaum jomblo yang kerap diteror kapan sebar undangan?!)




“Dan menikahlah denganku.

Bahagialah sampai batas waktu tak terhenti”


Petikan puisi Hapus Air Matamu yang disadur dari karya penyair fenomenal, Kahlil Gibran di atas secara gamblang menjanjikan mazhab romantisme pernikahan sebagai obat mujarab untuk meraih kebahagiaan dalam hidup selama-lamanya. Fenomena ini rasa-rasanya mengisyaratkan kepada manusia seberapa substansialnya sebuah pernikahan sebagai alat penyatuan nubuat dua insan untuk memenuhi tuntutan biologis, mental, bahkan ekspektasi sosial masyarakat. Sehingga, tak terlampau sinting rasanya jika saya menyebut pernikahan—menikah dijuluki sebagai resultan Panasea atau obat dari segala obat untuk menyembuhkan segala permasalahan manusia di dunia. Mengobati kesepian, membersihkan jalan dari permasalahan ekonomi, hingga racun pembungkam omongan tetangga.

Landasan inilah yang membuat topik tentang pernikahan selalu menjadi topik paling favorit untuk dibicarakan–didebatkan–dipamerkan, terutama bagi generasi berusia matang. Topik ‘kapan nikah?’ atau ‘mana nih calonnya?’ hampir selalu dipilih sebagai topik paling krusial untuk mengawali basa basi percakapan di berbagai kesempatan. Tak terhitung jumlahnya dalam berapa pertemuan keluarga, arisan, atau bahkan saat kumpul bersama kolega. Bisa kita bayangkan, diskursus pernikahan bukan lagi hanya semena-mena berurusan dengan hati dan kehendak dua insan yang menjalaninya, melainkan telah bertransformasi sebagai tropi pencitraan yang menandai keberhasilan orang tua dalam upaya pencarian pasangan terbaik bagi sang buah hati. Layaknya acara penghargaan, kegiatan kumpul-kumpul pun bisa menjadi ajang pamer pasangan, hanya 'menantu terbaik' (dalam Bahasa Jawa disebut mantu) yang akan mendapatkan piala penghormatan sipil.

Obsesi orang tua dan kehidupan pernikahan yang sempurna bagi sang anak, sejatinya dapat kita temukan dalam berbagai topik lini karya populer komersial yang laku di pasaran, tak terkecuali dalam industri perfilman. Di Indonesia sendiri, film yang menarasikan cinta—tragedi—pernikahan nampaknya tak akan pernah absen dari daftar tayang ‘film terlaris sepanjang masa di bioskop’. Sebut saja film megahits Ayat-Ayat Cinta (2008) dan Kawin Kontrak (2008). Hal ini sejalan dengan temuan Mochamad & Putri (2021) yang menyebut bahwa film bergenre romantis–pernikahan akan selalu mendominasi pasar, tak peduli pasang surut tren industri perfilman Indonesia dari tahun ke tahun. Film-film jenis ini ditengarai sebagai film yang paling aman untuk digarap. Pasalnya, biaya produksi yang dikeluarkan rumah produksi relatif rendah, bila disandingkan dengan margin pendapatannya yang berkali-kali lipat taksirannya. 

Reputasi dan kepopuleran film bertema romance nyatanya tidak lepas dari kapasitas sinema dalam upaya mendidik mental penonton. Dalam hal ini, film dengan segala kekuatan romantisasinya digunakan untuk menggambarkan masalah-masalah sosial biasa—luar biasa khalayak sosial. Karakter, setting, plot, dan elemen lainnya dapat digunakan untuk menggambarkan realitas yang benar atau sedang terjadi dalam kehidupan khalayak. Narasi yang ditonjolkan dalam sebuah film dapat meninggalkan kesan mendalam. Kesan-kesan tersebut tentu dapat membentuk pertunjukan-pertunjukan realitas dalam pikiran penonton, mereka bisa berimaji sesuai dengan kehendak mereka sendiri. Fenomena ini dapat kita sandingkan dengan pemikiran Sobur (2004) yang menilik kemampuan film sebagai medium yang dapat menjangkau berbagai segmen sosial, membuat film tersebut mempunyai potensi untuk memengaruhi penontonnya. Sehingga, pantas saja mengecap film-film mega-hits bertema romantis dinobatkan sebagai 'preman penguasa' pasar perfilman Tanah Air. Tentu saja, hal tersebut dikarenakan kemampuannya untuk merepresentasikan permasalahan yang dekat dengan dimensi tubuh–akal–bulan-bulanan masyarakat. 

Salah satu film yang tercipta dari ideologi kultural yang dekat dengan kehidupan masyarakat Indonesia ialah film berjudul Kapan Kawin? (dalam Bahasa Inggris berjudul When Will You Get Married?) yang dirilis pada 2015 lalu melalui bioskop nasional (saat ini tersedia di OTT). Film bergenre komedi romantis ini bertekad untuk merepresentasikan dilema pernikahan bagi generasi matang, lajang, dan terjebak dalam adat produk lama (baca : keluarga). Hal ini sesuai dengan ungkapan Todd (2014) yang secara gamblang menyebut ritual pernikahan diidentifikasi sebagai salah satu ciri ikonografi paling dominan dari komedi romantis. Dilihat dari judulnya, saya rasa penonton (bahkan anak SD sekalipun) bisa menerka-nerka premis apa yang akan dipresentasikan dalam narasinya. Dalam pikiran saya, genre film jenis ini hanya menyajikan format racikan monoton berulang : Orang dewasa berpendidikan-kaya-keras kepala, dipaksa menikah oleh lingkungan keluarganya—out of nowhere bertemu dengan seseorang yang menyebalkan dan berpura-pura menjadi kekasihnya untuk menyenangkan hati orang tua—tetap menyebalkan selama ¾ film—dan berakhir menjadi pasangan kekasih sungguhan—tamat. 

Terbukti, setelah selesai menonton Kapan Kawin? (2015), saya semakin yakin bahwa film ini benar-benar memiliki kekuatan magis, yakni dapat memprediksi racauan skrip yang sebelumnya sudah saya karang di otak, bahkan sebelum mulai menontonnya. Alias dugaan saya tidak meleset sedikitpun! Racikan berulang nan monotonnya tersebut nyatanya jelas sudah menjadi harga mati zona nyaman sineas perfilman Indonesia.

Berangkat dari kekaguman saya (pada kemampuan saya menebak plot) inilah yang pada akhirnya membawa saya pada titik bulat pemikiran : Bagaimana Kapan Kawin? (2015) dengan segala keter-biasa-annya itu dapat menarik begitu banyak atensi penonton Indonesia? Atau bagaimana diskursus pernikahan bermetamorfosis menjadi topik paling horor bagi mereka yang lajang dan berusia matang di tengah gempuran kebangkitan modernitas? Apakah pernikahan memanglah obat paling mujarab di dunia?

Sejatinya, diskusi yang saya mulai ini, sedikit-banyak telah terjawab dari pernyataan Ody Harahap, Sutradara Kapan Kawin? (2015) melalui wawancara Di Balik Layar Film Kapan Kawin - Eps. 1 yang tersedia melalui akun resmi Legacy Picture di platform Youtube.


“Film Kapan Kawin ini adalah film yang sangat menyenangkan, film yang fun untuk ditonton rame-rame, dan untuk para jomblo yang udah merasa sering diteror dengan pertanyaan ‘kapan kawin?’, disini kalian bisa mendapatkan jawaban dari pertanyaan itu.” (Ody Harahap, Sutradara Kapan Kawin? dalam Di Balik Layar Film Kapan Kawin - Eps. 1)


Berdasarkan pembelaan sang sutradara, dua poin yang dapat saya simpulkan : (1) menonton Kapan Kawin? sama dengan membawa kebahagiaan bagi penontonnya –terutama bagi mereka yang sedang dalam fase tersebut; (2) menonton Kapan Kawin? sama dengan jawaban atas keresahan mengenai diskursus pernikahan bagi usia matang-lajang. 

Kejujuran dan kedekatan topik dengan kehidupan khalayak di era modern inilah yang pada akhirnya mampu membawa Ody mengembangkan premis super sederhana—monoton—berulang, menjadi sebuah narasi epik yang disukai pasar, sepanjang zaman. Bahkan setelah delapan tahun sejak film itu dirilis, animo masyarakat rasanya tidak akan pernah pudar pada genre-genre semacam itu. Tidak hanya itu, film ini juga berhasil menunjukkan kepada penonton bahwa kekuatan elaborasi side premis (premis pendukung) yang juga berperan penting dalam upaya penghumanisan cerita. Harus saya akui, Kapan Kawin? (2015) tidak hanya membawa kepentingan kaum jomblo vs tropi menantu dambaan sang ibu –seperti klaim Ody, namun juga menyeret nama problematika sosial lainnya. Sebut saja, topik tentang feminitas, maskulinitas, family issue, hingga kritik tajam terhadap dunia seni peran di Indonesia melalui penjabaran premisnya. Kompleks, memabukkan, dan dagelan.

Pantas saja, film ini kemudian sukses besar dalam dua ajang penghargaan paling megah di Indonesia. Kolaborasi epik, penjiwaan menawan, serta konsep semi mumblecore —dialog natural kaya improvisasi membuat film bertema komedi-romantis ini berhasil menyabet empat nominasi penghargaan pada ajang bergengsi, seperti Festival Film Indonesia 2015 lalu, diantaranya Piala Citra Pemeran Utama Pria Terbaik untuk peran Satrio (diperankan Reza Rahardian), Pemeran Utama Perempuan Terbaik untuk peran Dinda (diperankan Adinia Wirasti), Pemeran Pendukung Pria Terbaik untuk peran Gatot (diperankan Adi Kurdi), hingga Skenario Asli Terbaik. Tidak berhenti disitu, film ini juga sukses pada ajang penghargaan Piala Maya 2015 untuk nominasi kategori Aktris Utama Terpilih, Penulisan Skenario Asli Terpilih, Film Cerita Panjang Terpilih, dan Aktor Pendukung Terpilih.

Hal inilah yang mendorong antusiasme saya untuk turut merayakan keseriusan penulisan narasi ajeknya dengan merangkum diskusi ini menjadi tiga topik bagian : Me-Ni-Kah. Artikel ini berusaha untuk membedah penggambaran kompleksitas fenomena yang dinarasikan dalam film bergenre ‘lumrah–standar’ pada layar kaca industri perfilman Indonesia. Diskusi tersebut saya tuangkan dalam : (1)  Meracik Ekspektasi untuk mempertanyakan kedudukan dan dilema perempuan yang dibingkai film ini sebagai produk industri modern; (2) Seni Perf*cksionis untuk membeberkan bagaimana film ini berusaha untuk mengkritik ekspektasi sosial terhadap maskulinitas laki-laki dan kaitannya dengan seni peran dalam dunia perfilman; (3) Memonitor Pernikahan untuk mendiskusikan director gaze dalam menerjemahan konsep pernikahan di Indonesia dalam narasi film.


Babak satu : Meracik Ekspektasi

“Kalau kata bapakmu, ‘Kalau kamu itu kapal perang, sirine tanda bahaya sudah berbunyi’, Nduk! Kapan kamu kawin? Tunggu apa lagi? Tunggu kapalmu di torpedo Jepang?!”


Kamera membidik medium close up untuk menyoroti ekspresi kecewa sang ibu kepada anaknya dari seberang telepon. Gerakan yang mondar-mandir serta camera movement yang mengikutinya, membuat adegan tersebut seribu kali lebih dramatis. Sementara, anaknya, Dinda yang sering dikatai ‘perawan tua’ itu hanya menghela napas sambil menciut, pasrah. Pada adegan inilah penonton pada akhirnya diperkenalkan pada kunci permasalahan yang membangun plot film : Dinda, gadis berusia 33 tahun dan belum kunjung menikah. Kelajangannya tersebut yang membuat gadis itu selalu ditilik oleh orang tuanya sebagai sebuah tanda memasuki zona hitam yang tak terkendali, perawan lapuk. Ia kerap mendapat telepon teror dari sang ibu yang terus menerus memaksanya untuk segera mencari pasangan, membebaskan Dinda dari segala penyakit dunia.

Dari babak awal film, penonton memang sudah disuguhkan pada penggambaran ketangguhan Dinda, seorang manajer hotel kenamaan ibukota sebagai sosok independent woman, pekerja keras, dan memiliki jabatan pekerjaan tinggi. Ilustrasi ini berkaca pada situasi yang kita rasakan sekarang, yaitu kekuatan perempuan modern yang bebas menentukan pilihan nasibnya berdasarkan kaki sendiri : mendapat pendidikan setinggi mungkin, memilih karir sesuai dengan kehendaknya, bahkan bebas menyuarakan pendapat di muka umum. Argumen ini kemudian diafirmasi oleh Fauziyah (2015) yang menyebut jika peranan perempuan di era sekarang semakin didengar, terutama dalam tiga aspek fundamental, diantaranya : (1) aspek sosial dan geliat perempuan dalam memberikan keyakinan kepada publik akan kapasitasnya secara sosial; (2) aspek politik yang mewajibkan keterwakilan calon perempuan dalam parlemen; (3) aspek ekonomi juga memungkinkan perempuan untuk menduduki posisi strategis untuk menggenjot perekonomian Tanah Air.

Disadari atau tidak, penggambaran ini nyata rasanya kita temukan dalam layar kaca perfilman Indonesia. Sebagai produk cerminan realitas sosial, tidak henti-hentinya sineas film secara terbuka memang ingin menyajikan potret kedigdayaan perempuan. Bagi Todd (2014) fenomena emansipasi perempuan dalam  tubuh perfilman ditilik merupakan perwujudan gaya umum storytelling genre romantis–komedi. Lantaran komedi romantis mendukung kebangkitan individualisme dan kesetaraan pada wanita, menawarkan hubungan yang lebih setara, dimana kedua kekasih memiliki citra kuat untuk saling menghormati kepribadian masing-masing. 

Dalam film Kapan Kawin? (2015), alih-alih bercerita dari sisi laki-laki, pembuat film memilih untuk membingkai Dinda sebagai pusat utama yang dengan bebas berkehendak —bahkan memiliki kontrol penuh terhadap hidup dan pilihan laki-laki. Hal ini nampak pada adegan negosiasi antara Dinda dan Satrio dalam menentukan harga jual jasa ‘kekasih gadungan’ laki-laki itu. Bagi saya, rangkaian adegan pertemuan awal tersebut menjadi babak paling krusial dalam film ini, sebab kekuatannya seakan dapat merepresentasikan poin penting pembangun narasi.


Dinda

Saya tambah lima juta. (Bayaran Satrio sebagai kekasih pura-pura)


Satrio

Okey, deal


Inilah salah satu bentuk independensi perempuan dalam layar kaca yang kerap saya temukan dewasa ini. Saya semakin optimis dengan fakta bahwa ungkapan Laura Mulvey tentang male gaze —memandang tubuh perempuan sebagai objek pemuas hasrat dari kacamata laki-laki, barangkali tidak berlaku dalam penggambaran tokoh Dinda selama film diputar. Kemudian oleh Hemmann (2013), sinyal ini disebut-sebut sebagai female gaze, tak lain sebagai tandingan teori beken male gaze. Meski sering dipeyorasi sebagai upaya ‘balas dendam’ perempuan dalam mengobjektifikasi laki-laki dalam tata aturan gerak kamera, sebenarnya female gaze sendiri berkaitan dengan cara pandang, perasaan, maupun pengalaman perempuan dalam menghadapi dunia, tidak terbatas pada pemarginalan satu gender tertentu. Dalam hal ini, perempuan dinilai sebagai individu yang aktif dan sosok pahlawan bagi kisah yang mereka tulis sendiri. Mereka bukan lagi ditilik sebagai sosok pasif yang terdominasi akan eksistensi laki-laki. 

Meski bukan titik fokus yang ingin disentil pembuat film, saya rasa Kapan Kawin? layak dilihat sebagai salah satu produk komersial yang merepresentasikan kebangkitan kekuatan perempuan. Alih-alih menuruti permintaan kedua orang tuanya untuk segera mencari pasangan hidup, Dinda justru berani membuat pilihan gila dan beresiko. Gadis itu berani membayar mahal Satrio yang berperan sebagai kekasih gadungan hanya untuk menenangkan hati ayah dan ibunya. Dalam perjalanannya-pun, Dinda juga menetapkan standar tinggi tentang bagaimana Satrio harus berperilaku, berpenampilan, serta berdialektika di hadapan keluarganya : ‘Tampil rapi dan wangi layaknya pria metroseksual!’, ‘Sesekali berbahasa Inggris biar keren!’, ‘Jaga sikap dan gaya bicara!’, ‘Pelajari ini-itu!’, sampai seruan ‘Buat orang tuaku membencimu!’ saat akhirnya mereka berniat untuk mengubah taktik pendekatan pada orang tua Dinda yang mulai menyukai pencitraan Satrio. 

Kendati demikian, catatan yang perlu saya tegaskan disini adalah penggambaran kekuatan perempuan hanya eksklusif bagi tokoh utama, Dinda seorang. Nyatanya, Ody tidak benar-benar mengamini kedigdayaan perempuan dengan serius. Nanggung. Seadanya. Dan formalitas. Lagi-lagi perempuan tetaplah dicitrakan sebagai sosok lemah, penurut, dan tameng bagi ego laki-laki. Hal ini dapat kita lihat penggambarannya dalam adegan kekerasan yang dilakukan Jerry kepada istrinya, Nadya. Diskursus pernikahan sempurna –Jerry sebagai figur kepala keluarga pengayom dan Nadya sebagai figur istri keibuan, dalam film ini bagaikan fatamorgana di tengah gurun pasir. Artinya, pernikahan sempurna hanyalah ilusi dari kacamata kuda tetangga. Semakin mendekat—zoom, keindahan kehidupan pernikahan akan semakin pudar. Dampaknya, mungkin saja film ini bisa mendorong generasi muda—matang semakin mempercayai bahwa pernikahan bukanlah obat mujarab yang menjamin kebahagiaannya. Ia bahagia di satu sisi, tapi tidak disisi lainnya.

Fakta inilah yang kita temukan di era modern saat ini. Meskipun kekuatannya tidak merata di semua wilayah, namun babak baru yang kita alami saat ini adalah cukup banyak jumlah masyarakat yang memilih untuk melajang di usia mapan–matang. Alasannya cukup beragam, mulai dari mental psikologis hingga menunda pernikahan karena permasalahan ekonomi. Bahkan, dalam sebuah survei kualitas hidup yang dilakukan BPS dalam Kurnia (2022), tingkat kebahagiaan orang yang melajang dan menikah tidaklah jauh berbeda. Pada kehidupan masyarakat urban, pernikahan bukanlah satu-satunya tiket menuju tropi kebahagiaan. Sementara, tiga dimensi yang diukur dalam penelitian itu, yakni kepuasan hidup, afeksi, hingga eudaimonia —kebahagiaan diri.

Tak hanya plot twist narasi pasangan Jerry–Nadya, bentuk lain distorsi penggambaran perempuan juga terlihat pada adegan minor Yeni sebagai perempuan penggoda yang disewa orang tua Dinda untuk menguji kelayakan Satrio sebagai calon suami. Dalam hal ini, kamera seakan menelanjangi Yeni yang tersenyum–mengusap–memeluk tubuh Satrio secara sensual. Pada salah satu adegan, Yeni ditangkap medium close up berbisik manja di telinga Satrio, sementara tangannya mengusap mesra dada bidang Satrio. Diambil dari sudut sela-sela jendela, ekspresi Yeni ditangkap kamera penuh gairah. 


Yeni

Kalau aku jadi pasien kamu, kira-kira aku harus bayar berapa, hm?


Tanpa melihat secara visual, bisa dibayangkan diskursus perempuan bayaran dalam bayangan norma sosial masyarakat selalu merujuk pada satu penghakiman habis-habisan : berambut panjang, berkulit bersih–kuning langsat, berbaju minim, buah dada ranum, riasan dewasa, hingga nada suara memanja. Keberadaan perempuan dalam pandangan ini hanya digambarkan sebagai makhluk pasif pemuas libido laki-laki —termasuk bagi laki-laki yang memiliki pasangan. Bejat!

 Kemudian, jika laki-laki tersebut bisa menolak godaan tersebut, maka ia akan dipuja layaknya pahlawan idaman penyelamat rumah tangga, sang pujangga paling setia. Penggambaran ini juga dinarasikan dalam adegan ayah dan ibu Dinda yang berjingkrak kegirangan mengetahui Satrio lulus ujian kesetiaan, ujian yang dirasa paling berat bagi manusia. Menahan godaan. Melalui ujian tersebut, mereka tidak lagi meragukan laki-laki itu sebagai sosok calon menantu hebat nan idaman.

Sementara, bisa dikatakan keadaan mungkin akan berbeda bagi perempuan dalam posisi tersebut. Menilik dari kacamata sosial, sudah kewajiban bagi seorang perempuan untuk menjadi pasangan yang setia–pendukung–lembut. Kemudian, jika perempuan tersebut bisa menolak godaan tersebut, maka ia akan dipandang sebagai suatu hal yang wajar, benar adanya, dan memang seharusnya begitu. Bagi saya, kondisi ini dicap bagaikan kemunduran norma romantisme yang tragis. Bukankah seharusnya dalam hubungan diharuskan untuk saling menjaga kesetiaan tanpa embel-embel bias gender?

Dari penggambaran tersebut, satu hal yang bisa saya tegaskan : Film ini terasa tidak konsisten memberikan pembelaannya pada kedudukan perempuan.


Babak dua : Seni Perf*cksionis

Layaknya prinsip ekonomi, salah satu seni dalam pencarian pasangan adalah sensasi memilih dan memilah bakal calon mantu terbaik. Sudah menjadi peraturan tak tertulis –disebut juga konvensi bahwa orang tua akan mengusahakan kebahagian anaknya, tentu saja salah satu agendanya dengan mencarikan sang anak pasangan terbaik dari yang paling baik baik. Terunggul dari yang paling unggul. Mosi inilah yang sekiranya membuat Dinda tak kunjung menjalin hubungan. Selama menonton, bisa saya bayangkan ketakutan seorang gadis yang dihantui perasaan ciut. Ada ketakutan—kejerian yang ia rasakan tatkala harus membawa pasangan ke hadapan ayah dan ibu, karena berpikir pilihannya tidak akan pernah cukup sempurna untuk memenuhi ekspektasi mereka. Klaim saya ini terbukti dalam adegan berikut : 


Dinda

Mas Satrio, gimana kamu akan meyakinkan orang tua saya bahwa kamu adalah orang yang baik, bertanggung jawab, decent?


Kendati dibalut dengan suasana sandiwara lawakan yang cukup menggelitik, namun adegan tersebut sebenarnya justru menjadi kunci jawaban atas seluruh premis yang dituliskan dalam film ini. Penangkapan gambar duo debat : Satrio—Dinda sedetik membuat rekan saya yang awam akan dunia sinema lupa bahwa ia sedang menonton sebuah film—medium yang dibuat-buat, tidak nyata, dan didramatisir. Celetukannya yang memuji akting pemain, membuat saya tersadar teknik mumblecore yang coba diadopsi dalam film ini sukses menciptakan efek film yang lebih hidup, menggetarkan hati penonton. Mumblecore sendiri didefinisikan sebagai subgenre independen yang secara terang-terangan menekankan dialog naturalistik kaya improvisasi serta penggambaran plot pada grup usia 20 sampai 30-tahun. Adapun plot yang dikembangkan biasanya berurusan dengan permasalahan pekerjaan atau hubungan yang buruk (MasterClass, 2021; Bedard, 2020). Bedard (2020) sendiri mengemukakan beberapa karakteristik subgenre ini diantaranya : (1) dialog yang kaya akan karangan; (2) aktor yang terkesan tidak profesional; (3) anggaran yang rendah; (4) lokasi syuting nyata seadanya; (5) plot kebanyakan berputar pada romantisasi remeh-temeh permasalahan cinta.

Aksi-reaksi dialog sembarang nan intens antara Dinda dan Satrio tersebut seakan tengah mempertontonkan sebuah ironi makna pembuktian dan ketakutan seorang gadis akan penolakan dari orang tuanya. Bagi Dinda, satu-satunya pencapaian terpenting dalam hidupnya, bukanlah kesuksesan karir dengan gaji besar —seperti yang sudah ia raih. Melainkan, pembuktian obsesi untuk menegaskan kemampuannya dalam mencari ‘mantu sempurna’ idaman orang tuanya. Kondisi makin rumit untuk Dinda karena selama ini Gatot dan Dewi –orang tuanya sudah memiliki role model yang dipuja. Nampaknya, hati mereka telah terbutakan oleh citra ideal yang selalu dipamerkan Jerry, mantan kekasih sekaligus kakak ipar Dinda. Dari awal sampai akhir film, penggambaran Jerry benar-benar memenuhi ekspektasi saya tentang pria maskulin (baca : laki-laki sejati). Ujar Moynihan (1998), ia dominan, successful, kompetitif, kuat secara fisik, dan dipenuhi segudang sifat jantan lainnya. 

Sama seperti terminologi feminis, maskulin juga ditengarai hadir sebagai sebuah bahasan yang diciptakan berdasarkan tata sosial kebudayaan. Penciptaannya sendiri bertujuan untuk mendefinisikan dogma terkait ‘bagaimana seharusnya laki-laki berpenampilan?’, ‘apa saja yang boleh dipikirkan dan dilakukan laki-laki?’ atau 'sifat apa yang boleh dan tidak boleh ditunjukkan laki-laki?'. Model maskulinitas ini kemudian berkembang penggunaannya sebagai upaya memandang citra kejantanan laki-laki. Pantas saja kemudian Kimmel dalam Feasey (2009) mengelu-elukan slogan harga diri seorang laki-laki sebagai : “A man in power, A man with power, and A man of Power”.

Meskipun baru muncul untuk menyemarakkan klimaks, kekuatan Jerry sebagai seorang laki-laki maskulin, sejatinya sudah bisa kita rasakan dari awal film, bahkan jauh sebelum sang lakon muncul. Adalah adegan dimana Dinda menunjukkan berkas profil berisi biodata Jerry kepada Satrio. Kamera zoom-ing pada dokumen biodata Jerry untuk memamerkan ke-perfect-annya.


Dinda

Namanya Jerry, menantu kesayangan orang tua saya, suami dari kakak saya Nadya, pria metroseksual.


Satrio

Jadi, peran saya jadi pria metrosensual?


Dinda

Metroseksual! Dan harus lebih bagus…


Sejujurnya, adegan ini membuat saya buru-buru mencari kembali definisi metroseksual, secara harfiah—etimologi—terminologi. Ada begitu banyak petunjuk yang membingkai konsep ini, sama seperti mendefinisikan cinta dan pernikahan. Ruwet. Ribet. Menyesakkan. Sebut saja bagi Ismoyo (2018), metroseksual dipandang sebagai kecenderungan laki-laki metropolitan untuk memuaskan nafsu indera, utamanya menjadikan estetika penampilan sebagai obsesi pencapaian diri. Dalam hal ini, metroseksual bukan hanya membentuk bagaimana norma sosial memandang mereka, tetapi juga dapat dilihat sebagai jimat sakti laki-laki untuk memikat wanita dalam upaya menunjukkan kejantanan bersihnya (Triswidiastuty & Kahija, 2015). Lalu, apa salahnya menjuluki metroseksual dengan sebutan metrosensual? Tidak ada. Saya yakin, penulis film paham betul jika keduanya tidak memiliki arti yang berbeda. Terikat dan berhubungan.

Kebingungan inilah yang pada akhirnya membawa Dinda untuk menjemput realitasnya sendiri : membeli jasa ‘aktor hebat’ untuk berpura-pura menjadi kekasihnya. Satrio, aktor jalanan yang begitu mencintai seni peran—dan tentu saja uang, berkolaborasi untuk meyakinkan (bahasa halus dari membodohi) orang tua Dinda bahwa anaknya mampu menyetor nama mantu. Dengan tampilan awal yang kampungan, norak, dan philosophy boy, Dinda berperan penting dalam misi untuk mengubah Satrio menjadi sosok laki-laki idaman dengan citra maskulin–metrosensual–dan tetek bengeknya. Mulai dari mengganti nama, memalsukan pekerjaan, hingga memakaikan jas ala orang berduit.

Sebagai seorang aktor, mendalami peran merupakan bentuk keprofesionalitasan Satrio. Itulah racauan yang berkali-kali ditekankan laki-laki itu sebagai bentuk protesnya pada instruksi Dinda. Barangkali, film ini memang tidak berniat untuk menyajikan hiburan bergenre percintaan metropop semata, tetapi juga edukasi dan sentilan terbuka bagi kehidupan rumah tangga industri perfilman Indonesia.


“Menjadi aktor tidak hanya tentang berakting, tetapi juga menyatu dengan karakter.”


Kesungguhan Satrio membawakan peran Rio —Sang laki-laki sempurna, membuatnya masuk daftar teratas calon menantu idaman. Meskipun demikian, nyatanya strategi pencitraan laki-laki maskulin tersebut tak cukup kuat untuk meyakinkan Gatot dan Dewi bahwa Rio merupakan pilihan terbaik untuk anaknya. Laki-laki itu perlu menyelesaikan ujian kelayakan calon menantu, diantaranya : (1) tanggung jawab; (2) pengorbanan; (3) kesetiaan; dan (4) kejujuran. Apakah penulisan skrip ini berlebihan? Apakah sandiwara dan muslihat orang tua Dinda terasa diluar nalar? Saya rasa justru film ini justru menyajikan ‘kemasuk-akalan’. Bukan, bukan karena film ini berlindung dibalik narasi komedi —genre yang mengesahkan seluruh adegan irasional nan gila. Namun, karena film ini memang menyajikan makna kultural penting sebagai agendanya, sekaligus penegasan bahwa kehidupan pernikahan merupakan bagian dari drama dunia.

Sekali lagi, Kapan Kawin? (2015) berupaya untuk mengingatkan penonton tentang betapa besar tanggung jawab dan beban yang harus diemban sepasang pengantin dalam kehidupan pernikahan, terutama bagi seorang suami. Ia bukan lagi hidup hanya sebagai 'seorang lelaki', tetapi ia juga merupakan kepala nahkoda dalam kapal yang bernama 'keluarga', selamanya. Mengingat betapa krusialnya hal ini, ujian yang dilakukan orang tua Dinda pada calon menantu mereka sama sekali tidak terasa berlebihan. Bukankah itu yang dinamakan bentuk kasih sayang (baca : campur tangan) orang tua dalam mengantarkan anaknya menuju kehidupan pernikahan nan bahagia? Ya, idealnya orang tua di Indonesia.


Babak tiga : Memonitor Pernikahan dari Kacamata Ody Hararap

 

Gatot menarik pigura potret kebahagian dirinya dan Dewi untuk membuka papan rencana rahasia, bentuk tanggung jawabnya sebagai orang tua. Ya, papan penilaian 'BIBIT, BOBOT, BEBET MENANTU'.


Filosofi bibit, bobot, bebet yang dinarasikan dalam film ini bukan hanya tumbuh sebagai falsafah hidup masyarakat Jawa dalam memilih pasangan, melainkan juga mampu dihayati semua orang. Lagipula, siapa yang tidak mau memiliki pasangan spek dewa? 

Bibit sendiri berkenaan dengan latar belakang garis keturunan keluarga besan. Bebet berkenaan dengan tingkat ekonomi calon pasangan. Sementara, bobot berkenaan dengan sifat, pencapaian, serta karakter calon pasangan. Dalam adat Jawa —saya yakin seluruh penduduk di muka bumi membenarkannya, pernikahan merupakan suatu hal yang sakral, syarat mutlak kebahagiaan, serta itikad untuk mengabdi pada adat istiadat (Mh, 2010). Kemudian dalam falsafah Jawa, hubungan keluarga sifatnya sebagai keanggotaan seumur hidup. Artinya, persoalan yang dihadapi salah satu anggota keluarga, juga merupakan urusan anggota lainnya, termasuk urusan jodoh–pernikahan–rumah tangga. Dalam hal ini, orang tua bertanggung jawab penuh terhadap kehidupan anaknya, sampai sang anak menikah. Itulah alasan mengapa banyak keluarga yang mendorong anaknya untuk segera berpasangan. Hal ini dibuktikan dengan tren pernikahan usia muda di Tanah Air. Dikutip dari Ihsan (2021), rata-rata pernikahan pertama kali orang Indonesia berkisar pada usia 19-24 tahun untuk perempuan, sementara kisaran usia 22-24 tahun bagi kebanyakan laki-laki. Lalu, bagaimana dengan mereka yang masih melajang di usia 30 tahunan? Tentu saja otomatis mereka akan terdaftar sebagai pasien yang perlu diberi ceramah. Tatapan kasihan akan dilayangkan etiket sosial. Dia perawan karatan!

Mengambil latar penceritaan di daerah Yogyakarta yang masih mempertahankan runtutan tata aturan, Ody berusaha membingkai film ini penuh dengan falsafah budaya Jawa untuk menentukan bagaimana tokoh berperilaku dan bertutur kata. Mulai dari celetukan ringan berbahasa Jawa, busana pendukung, sampai nilai harga diri yang menjadi pedoman hidup. Sehingga, film ini akan terkesan lebih dramatis, nyata, dan berpihak. 

Lalu yang menjadi pertanyaan, bagaimana diskursus pernikahan di era modern yang dinarasikan pembuat film dalam film ini? 

Sebagai sutradara spesialis film drama, sudah banyak film populer yang dihasilkan Ody C. Harahap. Sebut saja pengalamannya menggarap Kawin Kontrak (2008) dan Kawin Kontrak Lagi (2008). Ada pula film-film yang dirilis setelah Kapan Kawin? (2015), seperti Sweet 20 (2017), Hit & Run (2019), dan Orang Kaya Baru (2019). Ingin kembali mengulang kejayaan Kawin Kontrak (2008) yang berhasil menggebrak tren genre film komedi dalam industri perfilman Indonesia, membuat Ody bersama dengan duetnya Robert Ronny menerapkan formula yang serupa dalam film Kapan Kawin? (2015). Ringan. Mengocok perut. Dan dekat dengan keresahan yang dirasakan generasi muda. Bentuk pembacaannya pada tren teror berdarah : ‘jomblo terus, kapan nikah?’ yang kerap diadili dalam acara-acara penting keluarga. 

Hal serupa juga dilayangkan oleh Reza Rahadian sebagai pemeran Satrio dalam monolog Di Balik Layar Film Kapan Kawin - Eps. 4 melalui akun Youtube Legacy Pictures.


"Saya sangat tertarik dengan film ini dari awal. Kenapa? Karena film ini ringan, film ini segar, tapi film ini punya value yang sangat tinggi gitu. Punya value yang sangat serius yang mau disampaikan kepada penonton. Dan saya percaya, film dinilai sukses ketika bisa menyentuh hati para penonton yang kemudian menikmati film tersebut." (Reza Rahadian, pemeran Satrio dalam Di Balik Layar Film Kapan Kawin - Eps. 4).


Pernyataan Reza ini cukup meyakinkan, bahwa visi yang dibawa Kapan Kawin? (2015) tidak hanya erat kaitannya dengan kemampuan film sebagai alat pemuas hormon dopamin, tetapi juga media pendidikan bagi penonton di Indonesia. Mulai dari afirmasi terhadap kritik pernikahan sebagai bentuk pengabdian pada harga diri orang tua, berumah tangga sebagai syarat mencapai kebahagiaan, hingga pernikahan merupakan turunan seni peran —menuntut kesempurnaan. 

Meskipun demikian, sebagai penutup Ody tetap menegaskan pada penonton bahwa pada akhirnya pernikahan memanglah obat terbaik untuk menyembuhkan segala penyakit. Akhir sebuah pencarian kebahagiaan. Tanpa debat.


Satrio

Aku mau kita bangun keluarga, punya anak. Kamu mau nggak kawin sama aku?

Dinda

Oke, aku mau deh…


Kamera medium shot menyoroti ekspresi bahagia dua sejoli yang sedang dimabuk cinta, sementara tepuk tangan extras mengiringi musik gembira. Memberikanmkesan janji manis pada penonton akan kehidupan indah pasca pernikahan. Adegan ini ditimbang sesuai dengan ungkapan Todd (2014) yang berargumen bahwa musik dan efek bahagia ditengarai berperan penting dalam mempromosikan mentalitas 'Happy Ending' dalam drama romantis di era saat ini. Pada akhirnya, pembuat film berusaha menutup narasi dengan formula suka cita, klasik, boring, tipikal standar film drama romantis–komedi Indonesia. Menawarkan win-win solution bagi semua pihak. Orang tua, Dinda—Satrio, hingga jawaban atas kebimbangan ekspektasi penontonnya. The end.


Fiksasi

Film Kapan Kawin? (2015) barangkali layak ditilik sebagai salah satu film pasaran yang mampu mengkolaborasikan seluruh elemen slengekan komedi super biasa menjadi media edukasi–kritik atas isu pernikahan secara utuh, kompleks, dan menggelitik. Pernikahan sebagai topik yang sering dilabeli masyarakat layaknya 'momok', memang selalu menarik untuk dibahas dimanapun dan kapanpun —tak peduli puluhan kali, ratusan kali, atau ribuan kali. Film ini menjadi bukti keseriusan pembuatnya dalam memihak mereka yang masih melajang di usia matang, kaitannya dengan konsep kebebasan di era modern saat ini. Namun, disisi lain tidak menanggalkan penggambaran aspek kultural, penghormatan kepada nilai generasi lama.

Dari sekian banyak opsi sudut pandang, narasi berfokus pada perjalanan Dinda dalam upaya gadis itu meracik dan menciptakan mantu maskulin yang sempurna dari bibit, bebet, bobotnya, bukti baktinya kepada kasih sayang orang tua. Ialah representasi minor kebangkitan perempuan di era modern. Bebas, berani, dan mendominasi.



REFERENSI

Bedard, M. (2019, April 19). StudioBinder. Retrieved from What is Mumblecore? An American DIY Film Movement: https://www.studiobinder.com/blog/what-is-mumblecore-film-movement/

Fauziyah, I. (2015). GELIAT PEREMPUAN PASCA-REFORMASI; Agama, Politik, Gerakan Sosial. Yogyakarta: LKis Printing Cemerlang.

Ihsan, D. N. (2021, Maret 7). Bukan 25-30 Tahun, Mayoritas Anak Muda Indonesia Menikah di Usia Ini. Retrieved from Solopos: https://www.solopos.com/bukan-25-30-tahun-mayoritas-anak-muda-indonesia-menikah-di-usia-ini-1110787

Hemmann, K. (2013). The Female Gaze in Contemporary Japanese Literature. Dissertation University of Pennsylvania.

Kurnia, T. (2022, Januari 14). Survei BPS: Status Lajang dan Menikah Sama-Sama Bahagia. Retrieved from Liputan6: https://www.liputan6.com/global/read/4859972/survei-bps-status-lajang-dan-menikah-sama-sama-bahagia

Legacy Picture. (13 Februari 2015). Di Balik Layar Film Kapan Kawin – Eps. 1 [Video]. Youtube. https://www.youtube.com/watch?v=GthWa5D_Fvg

Legacy Picture. (13 Februari 2015). Di Balik Layar Film Kapan Kawin – Eps. 4 [Video]. Youtube. https://www.youtube.com/watch?v=mOGYVUseeLA

MasterClass. (2021, September 18). MasterClass : Arts & Entertaiment. Retrieved from Mumblecore Film Genre Explained: 8 Mumblecore Movies: https://www.masterclass.com/articles/mumblecore-explained

MH, Y. (2010). Falsafah Pandangan Hidup Orang Jawa. Yogyakarta: Absolut.

Moynihan, C. (1998). Theories of masculinity. Theories in health care and research, 1072-1075.

Mochamad, R., & Putri, I. P. (2021). TREN KARAKTERISTIK TOKOH UTAMA DALAM FILM INDONESIA. Dialektika: Jurnal Ilmu Komunikasi , Vol. 8, No. 1, 1-17.

Sobur, A. (2004). Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Todd, E. (2014). Passionate Love and Popular Cinema: Romance and Film Genre. London: Palgrave Macmillan.

Triswidiastuty, S., & Kahija, Y. F. (2015). MEMAHAMI MAKNA MENJADI PRIA METROSEKSUAL. Jurnal Empati, Volume 4(2), 58-64.

Komentar

Postingan Populer