Set You Free

Biru mengeluarkan pena bulunya. Murni. Buatan desainer terkenal, Kahlil Gibran. 

Disogoknya sang kertas tanpa ampun. Ia hanya ingin dunia tahu. Persetan dengan jam dinding yang terus memelototinya. 

“Apa?”, umpatnya.

Jika mencinta adalah pelangi, biarkan dia menghitam.
Jika menyayang adalah menggambar, biarkan dia memudar.
Atau jika ekspetasi adalah perjuangan, biarkan dia menjadi candaan.

Aku membebaskanmu, dukaku.

Biru tersenyum, menatap bukunya yang penuh coretan, goresan merah tepatnya. 
Sumpek, engap, berdesakan, tak ada lagi ruang kosong untuk mengadu. 

Habis sudah kesabaran Sang waktu.

“Apa kubilang, Sampah?!”, umpat jam dinding cengengesan tak punya malu.

“Dasar pesuruh.”

“Anjing kamu.”

“Bangsat.” 

Masih sama. Repetitif. Berulang. Mubazir.  

Menunggu diselamatkan. Final.

Biru masih mematung. Tak kuasa menahan tempelengnya. Ia tahu, cepat atau lambat bom waktu yang diikatkan pada ulu hatinya akan meledak, mencela, mengamuk, bahkan membunuh masa depannya. Mau sampai kapan terus berprasangka?

Katanya, menjadi seorang filatelis memang selalu luar biasa. Tapi coba pikirlah apa asyiknya mengumpulkan benda tak bernyawa? Yellow Treskilling tak seistimewa itu. Ia hanya ada, tiada, dan pertama. Sekali lagi apa menariknya?

Katanya, biarlah monyet selalu beradaptasi. Di kandang, di kantong pedagang asongan, atau mungkin diujung tepuk tangan bocil kematian. Merengek minta diselamatkan, menjengek saat dipasrahkan. Merutuki diri, mengapa aku harus menjadi badut sirkus diantara keseriusan?

Katanya, jujur selalu benar. Semua terselesaikan, semua terbayarkan. Bentuk pengabdian pada kepercayaan. Tapi kenapa banyak orang membencinya? Kenapa? Ia sok suci, kan?

Katanya, jalan pulang akan selalu ditemukan. Selalu ada marka jalan penanda untuk berhati-hati. Selalu ada rambu penanda untuk kembali. Tapi bagaimana jika dia tunawisma anyaran? Tak seorangpun mau menampungnya?

Jam dinding mulai menggerutu, tak senang. Ejekannya tak diperhatikan. Sudah hampir tiga setengah jam gadis itu tak bergeming sedikitpun, tak goyah. Setia. Penuh ekspresi menyebalkan. 

Hingga akhirnya jam dinding bersuara, “Tatap aku.”

Biru menurut, itu kelemahannya. Ia tak bisa menolak permintaan Tuannya, menengok. Langkah kaki kecilnya mendekati Jam dinding, uring-uringan. Meraba permukaan kasar menonjol di ujung angka 11. Sudut yang pernah (masih) melukainya, hidupnya.

“Kukatakan padamu, bagaimana jika kau berhentilah mengurungku, Wahai Durjana? Aku ingin hidup.” Biru mulai berbicara, melabrak.

“Maka dari itu, jangan berlebihan, Bodoh! Terlalu banyak ‘jika’ untuk mengurungmu disini.” Jam dinding tak terima, “Kau yang harus membebaskanku dulu. Maka aku berjanji akan mengampunimu.”

Biru membenturkan kepalanya ke salah satu potongan kayu lapuk termakan harapan, “Ba-” membentur, “Gai-“ membentur, “Ma-“ membentur, “Na“ membentur, “Ca-” membentur, “Ra-” membentuk, “Nya?!”

Jam dinding mendecak, “Dasar bandel, sudah selalu kukatakan, janganlah mendramatisir! Menyakiti dirimu tak ada gunanya. Kau tidak mendengarku ha?! Lepaskan aku, hanya kau yang tahu caranya.”

Biru kembali mematung, kerjaannya beberapa hari terakhir. Bergelut dengan ratusan ratu lebah dalam otaknya. Bising. Penuh intrik. Licik. Terlebih, itu gembel.

Zzzzzzz

Bzzzzzz

Bzbzzzz

Bzbzbzz

Bzbzbzb

“Cepatlah!” lagi-lagi jam dinding—si makhluk paling tidak sabaran membentak. Membuat tetangganya misuh-misuh.

Biru mengangguk. Setelah kembali terjaga berpuluh-puluh menit, ia mengerti sekarang (sejujurnya ia tidak cukup mengerti—tapi keadaan menyuruhnya begitu). 

Kesimpulan abal-abal yang ia curi dari sang tetangga : (1) hitam takakan pernah jadi putih, selamanya; (2) menyayangi tidak sama dengan transaksi, valid; 3) dan ekspetasi hanyalah kawan lama terasing, pernah.

“Kukatakan padamu..” Biru menatap nanar Sang waktu, hatinya sudah siap, 

“Itu tidak pernah menjadi kesalahan—atau mungkin justru kesalahan tertolol dari hari pertama.

Tapi bagaimanapun, I set you free.”

Biru menghela napas, 4x4. Baik, Ia akan pulang sekarang. Tugasnya sudah selesai. Tak ada lagi abdi dalem jilid 1 2 3 4. Gadis itu akan menemukan perapiannya sendiri, rancangan spesial desainer kondang khusus untuk dirinya. Segera.

Doakan dia, kawan. Gadis naif itu akan kembali berperang.

(Ps : tulisan ini masih belajar, bentuk manifestasinya).


Komentar